Be Awesome
Selasa, 04 Juni 2013
Jumat, 10 Mei 2013
REHABILITASI POST DISASTER
REHABILITASI
FISIK, PSIKOLOGIS DAN KOMUNITAS
PADA
PASCA BENCANA
DI
INDONESIA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester
Dasar Keperawatan Gawat Darurat
Koordinator: Ika Setyo Rini, S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh:
Ika
Subekti Wulandari 127060300111012
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kepulauan Indonesia merupakan wilayah
yang rawan terhadap bencana. Hal ini disebabkan letak geografis Indonesia yang
berada di antara dua benua dan dua samudra, dimana Indonesia terletak pada
titik pertemuan tiga lempeng utama dunia. Indonesia juga terletak pada dataran
tropis sehingga curah hujannya cukup tinggi sehingga sering terjadi bencana
alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan
sebagainya (United
Nations Environment Programs,
2003). Selain bencana karena faktor alam, di Indonesia juga sering terjadi
bencana karena faktor manusia seperti kebakaran hutan, polusi air di perkotaan
dan polusi air dari limbah industri. Faktor pencetusnya diantaranya adalah
jumlah penduduk yang banyak dengan penyebaran tidak merata sehingga terjadi
ketimpangan sosial dan masalah pemanfaatan kekayaan alam yang tidak harmonis (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2008), sehingga Indonesia sering mendapat
julukan sebagai Hypermarketnya bencana.
|
Efek bencana terhadap faktor psikologis
misalnya, pengalaman menyedihkan saat terjadi bencana seperti kehilangan orang
yang dicintai, kehilangan harta benda dan menyaksikan langsung kejadian bencana
akan memberikan perasaan traumatis tersendiri terhadap korban bencana, bahkan
pada beberapa kasus pengalaman tersebut sangat ekstrim, sehingga mereka tidak
dapat menerima kenyataan yang dialami atau biasa disebut Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (American Psychiatric Association, 1994). Disamping menimbulkan
korban jiwa dan kerugian materi, dampak bencana juga berkembang menjadi masalah
sosial seperti pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, kerentanan (vulnerability) dan menurunnya kualitas
sumber daya manusia
Untuk meminimalisir efek yang
ditimbulkan bencana, maka perlu segera dilakukan rehabilitasi untuk memulihkan
kembali kehidupan korban bencana baik secara fisik, psikologis dan komunitas. Menurut
Clinton (2006) prinsip rehabilitasi pasca bencana berpedoman pada build back better (membangun kembali
dengan lebih baik). Sebagai contoh prinsip ini telah diadopsi pada Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekontruksi pasca erupsi Merapi di Yogyakarta tahun 2011-2013,
namun belum dijelaskan secara rinci program dan kegiatan apa yang dilaksanakan
untuk membangun kembali masyarakat korban Merapi dengan lebih baik
Melihat begitu kompleknya efek yang
diakibatkan bencana dan aplikasi rehabilitasi di Indonesia yang belum sepenuhnya
efektif, maka penanganan pasca bencana harus dipersiapkan dan dilaksanakan
secara konsisten oleh berbagai pihak termasuk pihak pemerintah, masyarakat,
tenaga kesehatan dan tidak terkecuali masyarakat korban bencana itu sendiri. Oleh
karena itu makalah ini akan membahas mengenai pelaksanaan rehabilitasi fisik,
psikis dan komunitas pasca bencana di Indonesia dan bagaimana semestinya
manajemen rehabilitasi pasca bencana yang efektif.
B. Tujuan penulisan
1.
Tujuan
umum
Mengetahui
aplikasi rehabilitasi pasca bencana di Indonesia terkait aspek fisik, psikologis
dan komunitas serta mengetahui solusi mengenai manajemen rehabilitasi pasca
bencana yang efektif .
2.
Tujuan
khusus
a.
Mengetahui
prinsip rehabilitasi pasca bencana
b.
Mengetahui
kebijakan dan ketentuan umum mengenai rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
c.
Mengetahui
pelaksanaan rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
d.
Mengetahui
peran perawat dalam rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana.
e.
Mengetahui
solusi yang efektif untuk pelaksanaan rehabilitasi di Indonesia
C. Metode penulisan
Makalah
ini disusun berdasarkan studi literatur dari berbagai jurnal dan buku yang
terkait dengan topik manajemen rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas
pada pasca bencana.
D. Sistematika penulisan
1.
Bab
I Pendahuluan
a.
Latar
belakang
b.
Tujuan
penulisan
c.
Metode
penulisan
d.
Sistematika
penulisan
2.
Bab
II Tinjauan teori
a.
Manajemen
rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
b.
Peran
perawat dalam rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
3.
Bab
III Pembahasan
a.
Kegiatan
rehabilitasi di Indonesia
b.
Pihak
yang bertanggung jawab dalam proses rehabilitasi
c.
Solusi
4.
Bab
IV Penutup
a.
Kesimpulan
b.
Saran
5.
Daftar
Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Manajemen rehabilitasi pasca bencana
di Indonesia
Menurut
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 17 tahun
2010 tentang pedoman umum penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana, rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Dalam
kegiatan perencanaan terdapat dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Konstruksi
(RENAKSI) untuk jangka waktu paling lama 3 tahun. Dimana dokumen tersebut
memuat hal-hal mengenai kondisi umum wilayah dan kejadian bencana, gambaran
kondisi korban dan pengungsi, jumlah kerusakan dan kerugian akibat bencana,
prioritas program dan kegiatan serta kebutuhan dana yang diperlukan dan
sumberdaya yang telah tersedia, penjelasan mengenai kelembagaan, pengakhiran
masa tugas dan kesinambungan rencana aksi pasca rehabilitasi, durasi waktu,
standar pelayanan, tolak ukur dan indikator kinerja (BNPB, 2010).
Sumber
pendanaan utama kegiatan rehabilitasi berasal dari APBD kabupaten/kota untuk
bencana skala kabupaten/kota, APBD provinsi untuk bencana skala provinsi dan
APBN untuk bencana skala nasional. Disamping itu juga terdapat sumber dana lain
yang dapat digunakan yaitu asuransi, dana dari peran serta internasional
melalui kerjasama bilateral/multirateral, dana perwalian untuk penanggulangan
pasca bencana dan dana bantuan masyarakat lain (BNPB, 2010).
B. Peran perawat dalam rehabilitasi
fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
|
Menurut
Barbara Maria (1995) fase postimpact
bencana merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap
respon psikologis mulai dari penolakan (denial),
marah (angry), tawar menawar (bargaining), depresi hingga penerimaan (acceptance). Masalah psikis yang perlu
mendapat perhatian khusus adalah Post
Traumatic Stress Disaster (PTSD). Perawat berperan dalam memberikan
treatment psikologis yang berfokus pada depresi seperti problem solving therapy, konseling dan cognitive behavioral
therapy (Wiley & Sons 2004). Selain itu manajemen terhadap aspek
intrapersonal dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran terhadap diri
sendiri, keyakinan/nilai serta mimpi/harapan. Bisa dilakukan dengan terapi spiritual, management anxiety, exposure
therapy dan cognitive behavioral
therapy, group therapy atau
terapi bermain pada anak-anak (Sukmaningrum, Richard & Diane, 2001).
Dalam
rehabilitasi komunitas perawat tidak bisa bekerja sendiri dan harus melibatkan
lintas sektor. Sebagai contoh bekerjasama dengan kelompok masyarakat untuk
membersihkan lingkungan akibat bencana, membangun kembali rumah dan sarana
prasarana yang dibutuhkan. Bekerjasama dengan pemerintah daerah, lembaga
sosial, TNI atau lembaga lain dalam rangka pembangunan daerah bencana. Selain
itu perawat juga dapat berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat
dengan community building, menambah
ketrampilan untuk peningkatan ekonomi dan membangun hubungan sosial masyarakat.
Semua tindakan ditujukan untuk mempercepat fase pemulihan menuju keadaan sehat
dan aman (Fery & Makhduli, 2009). Pada kondisi ini juga bisa dibentuk
sebuah networking volunteer antar
tenaga kesehatan dan berbagai disiplin ilmu lain dalam memulihkan kondisi pasca
bencana (Stucki, Cieza & Melvin, 2007)
.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kegiatan rehabilitasi di Indonesia
Berdasarkan
pada prinsip rehabilitasi build back
better poin pentingnya adalah membangun kembali secara menyeluruh aspek
kehidupan masyarakat bencana dan tidak hanya berfokus pada pembangunan
kontruksi yang aman terhadap bencana. Dukungan dari Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
dan Palang Merah Indonesia (PMI), pemberdayaan pemerintah lokal, perencanaan
dan koordinasi yang baik serta penerapan prinsip keadilan dan kesetaraan
merupakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sebuah rehabilitasi.
Selain itu prinsip tersebut juga menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat
penting dalam proses membangun kehidupan pasca bencana yang lebih baik
(Cllinton, 2006).
Tahap
perencanaan merupakan tahap yang sangat penting dalam penyusunan program
rehabilitasi, dimana akan mengetahui prioritas program dan kegiatan serta kebutuhan
dana yang diperlukan dan sumberdaya yang telah tersedia, namun jika hal ini
tidak melibatkan seluruh aspek yang terkait maka bisa jadi program yang
dicanangkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya tentang Renaksi bencana
erupsi merapi di Yogyakarta tahun 2010, data yang diperoleh dinilai tidak
terlalu akurat. Hal ini disebabkan oleh minimnya keterlibatan pemerintah desa
dan masyarakat dalam proses penyusunan dokumen, padahal aparat desa dan
masyarakatlah yang paling memahami situasi dan kondisi di wilayah mereka. Dalam
pertemuan Koordinasi dan Telaah atas Proses dan Pelaksanaan Renaksi Merapi
2011-2013, beberapa peserta mempertanyakan sumber data-data penilaian kerusakan
dan kerugian sehingga alur logis antara kebutuhan dan proyeksi program
rehabilitasi dan rekonstruksi dapat terlihat dengan jelas. Sebagian peserta
bahkan ingin agar warga masyarakat dilibatkan sejak pendataan sampai evaluasi
agar kondisi wilayah dan komunitas mereka dapat tergambar dengan akurat (BNPB
& United National Development
Programme, 2011).
|
Sampai
saat ini pelaksanaan rehabilitasi pasca bencana di Indonesia belum merata
antara sektor fisik, psikologis dan komunitas. Kegiatan masih banyak difokuskan
pada pembangunan infrastruktural seperti perumahan, jalan, fasilitas umum dan
sebagainya (Josef Leitmann, 2007). Akan tetapi untuk sektor kesehatan, kondisi
trauma pasca bencana dan kehidupan sosial komunitas belum mendapatkan porsi
yang sesuai. Sehingga peran tenaga kesehatan khususnya perawat dalam
rehabilitasi ini sangat memegang peranan penting dalam mengembalikan kehidupan
fisik, psikologis dan komunitas korban bencana.
. Menurut Kumiko Lii (2012) perawat rehabilitasi
bencana secara standar adalah perawat yang memiliki keahlian dan telah
mengikuti pelatihan rehabilitasi disaster untuk memulihkan dan mempertahankan
kesehatan korban bencana secara fisik dan mental. Di Indonesia belum ada
standarisasi tentang perawat yang secara khusus menangani masalah rehabilitasi
pasca bencana, baik standar mengenai pengetahuan, skill dan status
administrasi. Perawat yang bertugas dalam rehabilitasi sebagian besar adalah
sebuah tim yang dikirimkan dari rumah sakit, badan penanggulangan bencana,
kementrian kesehatan dan sebagainya. Secara job
description, tugas perawat dalam melakukan rehabilitasi fisik, psikologis
dan komunitas belum terstruktur dengan baik. Asosiasi yang menaungi perawat rehabilitasi
berkewajiban untuk mengkaji tentang kebutuhan perawatan, koordinasi tentang
pengiriman perawat, manajemen teknis dan berkomunikasi dengan pemerintah
(Kumiko Lii, 20120. Di Indonesia pihak yang berperan adalah Persatuan Perawat
Nasioan Indonesia (PPNI). Saat ini peran PPNI dalam penanggulangan bencana
masih perlu ditingkatkan, lemahnya koordinasi antar daerah dan proses delegasi
yang kurang jelas, membuat manajemen rehabilitasi kurang dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.
|
Aspek-aspek
tersebut sebagaian besar sudah dilakukan di Indonesia, akan tetapi
pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kegiatan penanganan bencana masih
terfokus pada fase respon tanggap darurat, sedangkan fase rehabilitasi kurang
begitu mendapat perhatian. Jan England (Koordinator tanggap darurat Persatuan
Bangsa Bangasa di Aceh) mengatakan bahwa penanganan tanggap darurat di Aceh
berjalan baik, akan tetapi pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi berjalan
lambat dan tidak sesuai yang diharapkan (Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah,
2005). Hal ini disebabkan karena fase rehabilitasi melibatkan berbagai aspek
kehidupan dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memulihkannya,
sehingga peran perawat dalam proses ini akan berjalan maksimal jika didukung
dengan kerjasama lintas sektoral dan dokumentasi yang efektif dan terstruktur
dengan baik.
B. Pihak yang bertanggung jawab dalam
proses rehabilitasi
Fase
pemulihan fisik, psikologis dan komunitas dapat tercapai jika terjalin
kerjasama dan koordinasi yang solid antara berbagai pihak. Pihak yang harus
terlibat adalah BNPB selaku pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi ditingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) ditingkat daerah. Selain itu juga perlu adanya kerjasama dari
kementrian/lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, Satuan Kerja Perangkat
Daerah di propinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai fungsi perencanaan dan penanggulangan
bencana, lembaga internasional/asing non pemerintah, dunia usaha dan organisasi kemasyarakatan (adat, sosial atau
keagamaan). Kontribusi dari masyarakat sendiri juga memegang peranan yang
sangat penting. Termasuk perawat yang bernaung dibawah kementrian kesehatan
atau lembaga lainnya, jika mau dan mampu menerapkan ilmu dan skillnya maka akan
sangat memberi dampak yang positif terhadap pemulihan fisik, psikologis dan
komunitas korban bencana
C. Solusi terhadap kegiatan rehabilitasi
di Indonesia
Solusi yang dapat diberikan terkait
pelaksanaan rehabilitasi fisik, psikis dan komunitas pasca bencana adalah:
1. Perlu dibentuknya manajemen rehabilitasi berbasis komunitas,
dimana lebih banyak melibatkan partisipasi marayarakat dalam menentukan
prioritas perencanaan, sehingga kegiatan yang dilakukan lebih tepat sasaran dan
efektif.
2. Perlu dibentuk kolaborasi yang nyata dan solid antar spesialisasi
perawat di Indonesia terhadap penanganan masalah pasca bencana. Misalnya
perawat Medikal Bedah, Emergency, Maternitas,
Anak menangani masalah kesehatan fisik atau melakukan home care, perawat Jiwa menangani masalah psikologis pasca bencana,
perawat komunitas menangani masalah community
building, relocation, pendidikan
kesehatan terkait persiapan bencana, perawat manajemen menangani masalah
bagaimana manajemen/regulasi yang baik pada tahap rehabilitasi.
3. Perlu peningkatan kualitas SDM dalam penanganan bencana khususnya
tahap rehabilitasi misalnya dengan pelatihan manajer dan teknis rehabilitasi
bencana, serta penyusunan standar modul pelatihan rehabilitasi bencana.
4. Perlunya standarisasi khusus dari PPNI mengenai kualifikasi
perawat rehabilitasi bencana serta dibentuknya komunitas khusus perawat
rehabilatasi bencana sebagai wadah peningkatan kualitas kompetensi.
5. Disaster nursing perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan keperawatan
dan dispesialiasikan berdasarkan karakteristik bencana masing-masing daerah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Prinsip
rehabilitasi pasca bencana didasarkan pada build
back better yaitu membangun kembali secara menyeluruh aspek kehidupan
masyarakat bencana dan tidak hanya berfokus pada pembangunan kontruksi yang
aman terhadap bencana.
2.
Kebijakan
dan ketentuan umum rehabilitasi pemerintah disusun mulai dari perencanaan, pendanaan,
pelaksanaan dan evaluasi
3.
Masih terdapat kesenjangan yang lebar antara kebijakan dan
praktik-praktik nyata rehabilitasi pasca bencana di lapangan. Alokasi anggaran
dan program-program pemulihan yang direncanakan masih berorientasi
rehabilitasi-rekonstruksi dengan pendekatan lama yang berfokus pada pemulihan
infrastruktur fisik. Pemulihan kesehatan, psikologis dan ekonomi masyarakat
masih harus diperjuangkan lebih lanjut. Selain itu keterlibatan masyarakat
dalam keseluruhan siklus pemulihan pasca bencana masih sangat minim.
4.
Peran
perawat dalam rehabilitasi bencana dinilai belum maksimal, hal ini disebabkan
kurangnya koordinasi dan kerjasama yang solid antar berbagai pihak.
5.
Solusi
yang diberikan terkait dengan pembentukan rehabilitasi berbasis komunitas,
perlunya kolaborasi antar perawat spesialis dan pembagian bidang garapan yang
jelas, perlu peningkatan kualitas SDM perawat terkait rehabilitasi melalui
pendidikan dan pelatihan.
B. Saran
1. Bagi pemerintah
Perlu manajemen dan koordinasi
yang lebih solid antar berbagai pihak agar pelaksanaan rehabilitasi berjalan
optimal.
2. Bagi Perawat
Perawat perlu meningkatkan
kompetensi skill dan knowledge terkait dengan rehabilitasi
fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat perlu berperan aktif dalam kegiatan
rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas, sehingga manfaat rehabilitasi
benar-benar dapat dirasakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (APA). (1994) . Diagnostic and
Statistical Manual of Mental
Disorders (4 th ed) Washington, DC: Author.
Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2008). Statistik Bencana Tahun 2008. Available at
www.bakornaspb.go.id diakses tanggal 20 Februari 2011
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
(2013). Info bencana
Available at
www.bnpb.org diakses tanggal 20
Februari 2011
Barbara
Santamaria. (1995). Community Health
Nursing Theory & Practice. New Jersey: Pearson
Education
Bai
XD, Liu XH. (2009). Retrospective analysis: the earthquake-injured patients in Barakott of Pakistan. Chine Journal Thraumatology ; 12:122_4.
Clinton,
William J.(2006). Key Propositions for
Building Back Better: Lessons Learned from
Tsunami Recovery,
Fery
Efendi, Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan
Komunitas: Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
John
Wiley, Sons. (2004). Depression: Management of depression in
primary and secondary care . National Institute for Clinical Exellence
Kumiko
Lii. (2013) Activities of The Japenese
Nursing Association in The Great east Japan
earthquake.
Josef
Leitmann. (2007). Cities and calamaties: learning from Post Disaster Response
in Indonesia. Journal of Urban Health. Bulletin of the New York Academy, Vol. 84,
(1)
Meiko
Ishii. (2013) Disaster Nursing 2. Dipresentasikan
dalan Distance Learning di Universitas
Brawijaya Malang pada tanggal 18-19 maret 2013
Richard J. Beck, Diane I. Franke.
(2001). Rehabilitation of victim of natural disasters. Journal of Rehabilitation
Med; 39: 286_92.
Sukmaningrum,
E. (2001) . Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca
Trauma Karena Kekerasan (Domestic Violence) Pada Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 8. No. 2, 14-23
Stucki
G, Cieza A, Melvin J. (2007). The international classification of functioning, disability and health (ICF): a
unifying model for the conceptual description of the Rehabilitation strategy. Journal Rehabilitation Med; 39: 279_85.
United
Nations Environment Programs (UNEP). (2003). Country Profile Indonesia
Available
at www.ekh.unep.org diakses
tanggal 20 Februari 2013.
United National Development Programme (UNDP), BNPB. (2011). Koordinasi dan Telaah atas Proses dan Pelaksanaan Renaksi Merapi 2011-2013. Dipresentasikan dalam dalam Pertemuan Koordinasi dan Telaah atas
Proses dan Pelaksanaan Renaksi
Merapi 2011-2013 di Yogyakarta,
15-16 November 2011
Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah
(YIPD). (2005). PBB kecewa rekontruksi
lambat. Jakarta: YIPD
Langganan:
Postingan (Atom)