Jumat, 10 Mei 2013

REHABILITASI POST DISASTER


REHABILITASI FISIK, PSIKOLOGIS DAN KOMUNITAS
PADA PASCA BENCANA
DI INDONESIA


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester
Dasar Keperawatan Gawat Darurat
Koordinator: Ika Setyo Rini, S.Kep., M.Kep


Disusun Oleh:
Ika Subekti Wulandari          127060300111012


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013






BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar belakang
       Kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana. Hal ini disebabkan letak geografis Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudra, dimana Indonesia terletak pada titik pertemuan tiga lempeng utama dunia. Indonesia juga terletak pada dataran tropis sehingga curah hujannya cukup tinggi sehingga sering terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan sebagainya (United Nations Environment Programs, 2003). Selain bencana karena faktor alam, di Indonesia juga sering terjadi bencana karena faktor manusia seperti kebakaran hutan, polusi air di perkotaan dan polusi air dari limbah industri. Faktor pencetusnya diantaranya adalah jumlah penduduk yang banyak dengan penyebaran tidak merata sehingga terjadi ketimpangan sosial dan masalah pemanfaatan kekayaan alam yang tidak harmonis (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2008), sehingga Indonesia sering mendapat julukan sebagai Hypermarketnya bencana.
1
 
       Banyaknya kejadian bencana di Indonesia telah banyak menimbulkan kerugian baik secara fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Selama Januari 2013 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 120 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 123 orang meninggal, 179.659 orang mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.798 rumah rusak ringan. Kejadian banjir di Jakarta yang terjadi selama 15-27 Januari 2013 menyebabkan 38 jiwa meninggal serta jumlah pengungsi mencapai lebih dari 80.000 jiwa. Bencana angin putting beliung terjadi 43 kali yang menyebabkan 3 orang meninggal, 616 rumah rusak berat, 2.626 rusak sedang, 2.148 rusak ringan, serta merusak 1 fasilitas kesehatan, 6 fasilitas pendidikan dan 14 fasilitas peribadatan (BNPB, 2013).
       Efek bencana terhadap faktor psikologis misalnya, pengalaman menyedihkan saat terjadi bencana seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda dan menyaksikan langsung kejadian bencana akan memberikan perasaan traumatis tersendiri terhadap korban bencana, bahkan pada beberapa kasus pengalaman tersebut sangat ekstrim, sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan yang dialami atau biasa disebut Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (American Psychiatric Association, 1994). Disamping menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, dampak bencana juga berkembang menjadi masalah sosial seperti pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, kerentanan (vulnerability) dan menurunnya kualitas sumber daya manusia
       Untuk meminimalisir efek yang ditimbulkan bencana, maka perlu segera dilakukan rehabilitasi untuk memulihkan kembali kehidupan korban bencana baik secara fisik, psikologis dan komunitas. Menurut Clinton (2006) prinsip rehabilitasi pasca bencana berpedoman pada build back better (membangun kembali dengan lebih baik). Sebagai contoh prinsip ini telah diadopsi pada Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekontruksi pasca erupsi Merapi di Yogyakarta tahun 2011-2013, namun belum dijelaskan secara rinci program dan kegiatan apa yang dilaksanakan untuk membangun kembali masyarakat korban Merapi dengan lebih baik
       Melihat begitu kompleknya efek yang diakibatkan bencana dan aplikasi rehabilitasi di Indonesia yang belum sepenuhnya efektif, maka penanganan pasca bencana harus dipersiapkan dan dilaksanakan secara konsisten oleh berbagai pihak termasuk pihak pemerintah, masyarakat, tenaga kesehatan dan tidak terkecuali masyarakat korban bencana itu sendiri. Oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai pelaksanaan rehabilitasi fisik, psikis dan komunitas pasca bencana di Indonesia dan bagaimana semestinya manajemen rehabilitasi pasca bencana yang efektif.

B.  Tujuan penulisan
1.   Tujuan umum
Mengetahui aplikasi rehabilitasi pasca bencana di Indonesia terkait aspek fisik, psikologis dan komunitas serta mengetahui solusi mengenai manajemen rehabilitasi pasca bencana yang efektif .
2.   Tujuan khusus
a.   Mengetahui prinsip rehabilitasi pasca bencana
b.   Mengetahui kebijakan dan ketentuan umum mengenai rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
c.   Mengetahui pelaksanaan rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
d.   Mengetahui peran perawat dalam rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana.
e.   Mengetahui solusi yang efektif untuk pelaksanaan rehabilitasi di Indonesia

C.  Metode penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan studi literatur dari berbagai jurnal dan buku yang terkait dengan topik manajemen rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pada pasca bencana.
D.  Sistematika penulisan
1.      Bab I Pendahuluan
a.   Latar belakang
b.   Tujuan penulisan
c.   Metode penulisan
d.   Sistematika penulisan
2.      Bab II Tinjauan teori
a.   Manajemen rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
b.   Peran perawat dalam rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
3.      Bab III Pembahasan
a.   Kegiatan rehabilitasi di Indonesia
b.   Pihak yang bertanggung jawab dalam proses rehabilitasi
c.   Solusi
4.      Bab IV Penutup
a.   Kesimpulan
b.   Saran
5.      Daftar Pustaka



BAB II
TINJAUAN TEORI


A.  Manajemen rehabilitasi pasca bencana di Indonesia
       Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 17 tahun 2010 tentang pedoman umum penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
       Dalam kegiatan perencanaan terdapat dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Konstruksi (RENAKSI) untuk jangka waktu paling lama 3 tahun. Dimana dokumen tersebut memuat hal-hal mengenai kondisi umum wilayah dan kejadian bencana, gambaran kondisi korban dan pengungsi, jumlah kerusakan dan kerugian akibat bencana, prioritas program dan kegiatan serta kebutuhan dana yang diperlukan dan sumberdaya yang telah tersedia, penjelasan mengenai kelembagaan, pengakhiran masa tugas dan kesinambungan rencana aksi pasca rehabilitasi, durasi waktu, standar pelayanan, tolak ukur dan indikator kinerja (BNPB, 2010).
       Sumber pendanaan utama kegiatan rehabilitasi berasal dari APBD kabupaten/kota untuk bencana skala kabupaten/kota, APBD provinsi untuk bencana skala provinsi dan APBN untuk bencana skala nasional. Disamping itu juga terdapat sumber dana lain yang dapat digunakan yaitu asuransi, dana dari peran serta internasional melalui kerjasama bilateral/multirateral, dana perwalian untuk penanggulangan pasca bencana dan dana bantuan masyarakat lain (BNPB, 2010).

B.  Peran perawat dalam rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
4
 
       Selama masa perbaikan perawat berperan untuk membantu masyarakat kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu untuk bisa normal kembali atau bahkan ada yang mengalami kecacatan. Menurut Bai & Liu (2009)  masalah fisik yang biasa timbul dipengungsian seperti masalah kurang gizi, penyakit menular, ISPA, diare dan sebagainya merupakan kondisi yang butuh peran  perawat didalamnya. Dalam situasi ini perawat menggunakan kompetensi dan keterampilannya dalam mengatasi masalah fisik misal perawatan luka, edukasi tetang kebersihan lingkungan, konsultasi kesehatan, pelayanan home care dan sebagainya (Fery & Makhduli, 2009).
       Menurut Barbara Maria (1995) fase postimpact bencana merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai dari penolakan (denial), marah (angry), tawar menawar (bargaining), depresi hingga penerimaan (acceptance). Masalah psikis yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Post Traumatic Stress Disaster (PTSD). Perawat berperan dalam memberikan treatment psikologis yang berfokus pada depresi seperti problem solving therapy, konseling dan cognitive behavioral therapy (Wiley & Sons 2004). Selain itu manajemen terhadap aspek intrapersonal dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran terhadap diri sendiri, keyakinan/nilai serta mimpi/harapan. Bisa dilakukan dengan  terapi spiritual, management anxiety, exposure therapy dan cognitive behavioral therapy, group therapy atau terapi bermain pada anak-anak (Sukmaningrum,  Richard & Diane, 2001).
       Dalam rehabilitasi komunitas perawat tidak bisa bekerja sendiri dan harus melibatkan lintas sektor. Sebagai contoh bekerjasama dengan kelompok masyarakat untuk membersihkan lingkungan akibat bencana, membangun kembali rumah dan sarana prasarana yang dibutuhkan. Bekerjasama dengan pemerintah daerah, lembaga sosial, TNI atau lembaga lain dalam rangka pembangunan daerah bencana. Selain itu perawat juga dapat berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan community building, menambah ketrampilan untuk peningkatan ekonomi dan membangun hubungan sosial masyarakat. Semua tindakan ditujukan untuk mempercepat fase pemulihan menuju keadaan sehat dan aman (Fery & Makhduli, 2009). Pada kondisi ini juga bisa dibentuk sebuah networking volunteer antar tenaga kesehatan dan berbagai disiplin ilmu lain dalam memulihkan kondisi pasca bencana (Stucki, Cieza & Melvin, 2007)
.







BAB III
PEMBAHASAN


A.  Kegiatan rehabilitasi di Indonesia
       Berdasarkan pada prinsip rehabilitasi build back better poin pentingnya adalah membangun kembali secara menyeluruh aspek kehidupan masyarakat bencana dan tidak hanya berfokus pada pembangunan kontruksi yang aman terhadap bencana. Dukungan dari Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan Palang Merah Indonesia (PMI), pemberdayaan pemerintah lokal, perencanaan dan koordinasi yang baik serta penerapan prinsip keadilan dan kesetaraan merupakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sebuah rehabilitasi. Selain itu prinsip tersebut juga menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat penting dalam proses membangun kehidupan pasca bencana yang lebih baik (Cllinton, 2006).
       Tahap perencanaan merupakan tahap yang sangat penting dalam penyusunan program rehabilitasi, dimana akan mengetahui  prioritas program dan kegiatan serta kebutuhan dana yang diperlukan dan sumberdaya yang telah tersedia, namun jika hal ini tidak melibatkan seluruh aspek yang terkait maka bisa jadi program yang dicanangkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya tentang Renaksi bencana erupsi merapi di Yogyakarta tahun 2010, data yang diperoleh dinilai tidak terlalu akurat. Hal ini disebabkan oleh minimnya keterlibatan pemerintah desa dan masyarakat dalam proses penyusunan dokumen, padahal aparat desa dan masyarakatlah yang paling memahami situasi dan kondisi di wilayah mereka. Dalam pertemuan Koordinasi dan Telaah atas Proses dan Pelaksanaan Renaksi Merapi 2011-2013, beberapa peserta mempertanyakan sumber data-data penilaian kerusakan dan kerugian sehingga alur logis antara kebutuhan dan proyeksi program rehabilitasi dan rekonstruksi dapat terlihat dengan jelas. Sebagian peserta bahkan ingin agar warga masyarakat dilibatkan sejak pendataan sampai evaluasi agar kondisi wilayah dan komunitas mereka dapat tergambar dengan akurat (BNPB & United National Development Programme, 2011).
6
 
       Tahap pendanaan rehabilitasi di Indonesia juga dinilai tidak responsif, salah satunya adalah alokasi anggaran tahun 2011 untuk rehabilitasi Merapi sampai saat ini belum kunjung cair dan direalisasikan (BNPB & UNDP, 2011). Keterlambatan mengenai manajemen dan pendanaan tentu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan di lapangan, apalagi dalam proses pemulihan kesehatan dan ekonomi, karena sektor tersebut sangat bergantung terhadap sarana dan prasarana yang ada.
       Sampai saat ini pelaksanaan rehabilitasi pasca bencana di Indonesia belum merata antara sektor fisik, psikologis dan komunitas. Kegiatan masih banyak difokuskan pada pembangunan infrastruktural seperti perumahan, jalan, fasilitas umum dan sebagainya (Josef Leitmann, 2007). Akan tetapi untuk sektor kesehatan, kondisi trauma pasca bencana dan kehidupan sosial komunitas belum mendapatkan porsi yang sesuai. Sehingga peran tenaga kesehatan khususnya perawat dalam rehabilitasi ini sangat memegang peranan penting dalam mengembalikan kehidupan fisik, psikologis dan komunitas korban bencana.
       . Menurut Kumiko Lii (2012) perawat rehabilitasi bencana secara standar adalah perawat yang memiliki keahlian dan telah mengikuti pelatihan rehabilitasi disaster untuk memulihkan dan mempertahankan kesehatan korban bencana secara fisik dan mental. Di Indonesia belum ada standarisasi tentang perawat yang secara khusus menangani masalah rehabilitasi pasca bencana, baik standar mengenai pengetahuan, skill dan status administrasi. Perawat yang bertugas dalam rehabilitasi sebagian besar adalah sebuah tim yang dikirimkan dari rumah sakit, badan penanggulangan bencana, kementrian kesehatan dan sebagainya. Secara job description, tugas perawat dalam melakukan rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas belum terstruktur dengan baik. Asosiasi yang menaungi perawat rehabilitasi berkewajiban untuk mengkaji tentang kebutuhan perawatan, koordinasi tentang pengiriman perawat, manajemen teknis dan berkomunikasi dengan pemerintah (Kumiko Lii, 20120. Di Indonesia pihak yang berperan adalah Persatuan Perawat Nasioan Indonesia (PPNI). Saat ini peran PPNI dalam penanggulangan bencana masih perlu ditingkatkan, lemahnya koordinasi antar daerah dan proses delegasi yang kurang jelas, membuat manajemen rehabilitasi kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
6
 
       Poin terpenting yang perlu diperhatikan perawat saat rehabilitasi diantaranya adalah proses monitoring dan support yang dilakukan secara terus menerus berdasarkan data informasi yang dikumpulkan melalui observasi, survey, penilaian di lapangan langsung atau dari internet. Survey dapat dilakukan dengan travelling clinic yang dilakukan oleh tim, dimana satu tim terdiri dari 2 dokter, 2 perawat, 2 koordinator lapangan dan 1 orang driver atau penterjemah bahasa (Meiko Ishii, 2012). Berdasarkan kebutuhan perawatan yang didapatkan dari lapangan, dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam memberikan intervensi yang diberikan. Aspek yang dilihat meliputi fisik, psikologis dan komunitas. Kegiatan rehabilitasi pada aspek fisik misalnya latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif, postural drainage, oral care, perawatan luka infeksi maupun dekubitus. Pada aspek psikologis misalnya pada kasus Post Traumatic Stress Disaster (PTSD), perawat berperan dalam memberikan treatment psikologis yang berfokus pada depresi seperti problem solving therapy, konseling dan cognitive behavioral therapy, group therapy atau terapi bermain pada anak-anak (Wiley & Sons 2004). Pada aspek komunitas intervensi dilakukan untuk membenahi pola perilaku masyarakat, tingkat pengetahuan, kemampuan penggunaan sumber dalam peningkatan kualitas hidup, community building dan membangun hubungan sosial masyarakat.
       Aspek-aspek tersebut sebagaian besar sudah dilakukan di Indonesia, akan tetapi pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kegiatan penanganan bencana masih terfokus pada fase respon tanggap darurat, sedangkan fase rehabilitasi kurang begitu mendapat perhatian. Jan England (Koordinator tanggap darurat Persatuan Bangsa Bangasa di Aceh) mengatakan bahwa penanganan tanggap darurat di Aceh berjalan baik, akan tetapi pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi berjalan lambat dan tidak sesuai yang diharapkan (Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah, 2005). Hal ini disebabkan karena fase rehabilitasi melibatkan berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memulihkannya, sehingga peran perawat dalam proses ini akan berjalan maksimal jika didukung dengan kerjasama lintas sektoral dan dokumentasi yang efektif dan terstruktur dengan baik.
      
B.  Pihak yang bertanggung jawab dalam proses rehabilitasi
       Fase pemulihan fisik, psikologis dan komunitas dapat tercapai jika terjalin kerjasama dan koordinasi yang solid antara berbagai pihak. Pihak yang harus terlibat adalah BNPB selaku pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ditingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ditingkat daerah. Selain itu juga perlu adanya kerjasama dari kementrian/lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, Satuan Kerja Perangkat Daerah di propinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai fungsi perencanaan dan penanggulangan bencana, lembaga internasional/asing non pemerintah, dunia usaha dan  organisasi kemasyarakatan (adat, sosial atau keagamaan). Kontribusi dari masyarakat sendiri juga memegang peranan yang sangat penting. Termasuk perawat yang bernaung dibawah kementrian kesehatan atau lembaga lainnya, jika mau dan mampu menerapkan ilmu dan skillnya maka akan sangat memberi dampak yang positif terhadap pemulihan fisik, psikologis dan komunitas korban bencana




C.  Solusi terhadap kegiatan rehabilitasi di Indonesia
       Solusi yang dapat diberikan terkait pelaksanaan rehabilitasi fisik, psikis dan komunitas pasca bencana adalah:
1.      Perlu dibentuknya manajemen rehabilitasi berbasis komunitas, dimana lebih banyak melibatkan partisipasi marayarakat dalam menentukan prioritas perencanaan, sehingga kegiatan yang dilakukan lebih tepat sasaran dan efektif.
2.      Perlu dibentuk kolaborasi yang nyata dan solid antar spesialisasi perawat di Indonesia terhadap penanganan masalah pasca bencana. Misalnya perawat Medikal Bedah, Emergency, Maternitas, Anak menangani masalah kesehatan fisik atau melakukan home care, perawat Jiwa menangani masalah psikologis pasca bencana, perawat komunitas menangani masalah community building, relocation, pendidikan kesehatan terkait persiapan bencana, perawat manajemen menangani masalah bagaimana manajemen/regulasi yang baik pada tahap rehabilitasi.
3.      Perlu peningkatan kualitas SDM dalam penanganan bencana khususnya tahap rehabilitasi misalnya dengan pelatihan manajer dan teknis rehabilitasi bencana, serta penyusunan standar modul pelatihan rehabilitasi bencana.
4.      Perlunya standarisasi khusus dari PPNI mengenai kualifikasi perawat rehabilitasi bencana serta dibentuknya komunitas khusus perawat rehabilatasi bencana sebagai wadah peningkatan kualitas kompetensi.
5.      Disaster nursing perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan keperawatan dan dispesialiasikan berdasarkan karakteristik bencana masing-masing daerah.


BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
1.      Prinsip rehabilitasi pasca bencana didasarkan pada build back better yaitu membangun kembali secara menyeluruh aspek kehidupan masyarakat bencana dan tidak hanya berfokus pada pembangunan kontruksi yang aman terhadap bencana.
2.      Kebijakan dan ketentuan umum rehabilitasi pemerintah disusun mulai dari perencanaan, pendanaan, pelaksanaan dan evaluasi
3.      Masih terdapat kesenjangan yang lebar antara kebijakan dan praktik-praktik nyata rehabilitasi pasca bencana di lapangan. Alokasi anggaran dan program-program pemulihan yang direncanakan masih berorientasi rehabilitasi-rekonstruksi dengan pendekatan lama yang berfokus pada pemulihan infrastruktur fisik. Pemulihan kesehatan, psikologis dan ekonomi masyarakat masih harus diperjuangkan lebih lanjut. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan siklus pemulihan pasca bencana masih sangat minim.
4.      Peran perawat dalam rehabilitasi bencana dinilai belum maksimal, hal ini disebabkan kurangnya koordinasi dan kerjasama yang solid antar berbagai pihak.
5.      Solusi yang diberikan terkait dengan pembentukan rehabilitasi berbasis komunitas, perlunya kolaborasi antar perawat spesialis dan pembagian bidang garapan yang jelas, perlu peningkatan kualitas SDM perawat terkait rehabilitasi melalui pendidikan dan pelatihan.

B.  Saran
1.      Bagi pemerintah
Perlu manajemen dan koordinasi yang lebih solid antar berbagai pihak agar pelaksanaan rehabilitasi berjalan optimal.
2.      Bagi Perawat
Perawat perlu meningkatkan kompetensi skill dan knowledge terkait dengan rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas pasca bencana
3.      Bagi Masyarakat 
   Masyarakat perlu berperan aktif dalam kegiatan rehabilitasi fisik, psikologis dan komunitas, sehingga manfaat rehabilitasi benar-benar dapat dirasakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (APA). (1994) . Diagnostic and Statistical Manual         of  Mental Disorders (4 th ed) Washington, DC: Author.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2008). Statistik Bencana Tahun         2008.   Available at www.bakornaspb.go.id           diakses tanggal 20 Februari 2011
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2013). Info bencana
            Available at www.bnpb.org     diakses tanggal 20 Februari 2011
Barbara Santamaria. (1995). Community Health Nursing Theory & Practice. New Jersey:               Pearson Education
Bai XD, Liu XH. (2009). Retrospective analysis: the earthquake-injured patients in             Barakott of Pakistan. Chine Journal Thraumatology ; 12:122_4.
Clinton, William J.(2006). Key Propositions for Building Back Better: Lessons Learned     from Tsunami Recovery,
Fery Efendi, Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik     dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
John Wiley,  Sons. (2004). Depression: Management of depression in primary       and      secondary care . National Institute for Clinical Exellence
Kumiko Lii. (2013) Activities of The Japenese Nursing Association in The Great east        Japan earthquake.
Josef Leitmann. (2007). Cities and calamaties: learning from Post Disaster Response in   Indonesia. Journal of Urban Health. Bulletin of the New York Academy, Vol. 84, (1)
Meiko Ishii. (2013) Disaster Nursing 2.           Dipresentasikan dalan Distance Learning di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 18-19 maret 2013
Richard J. Beck, Diane I. Franke. (2001). Rehabilitation of victim of natural disasters.       Journal of Rehabilitation Med; 39: 286_92.
Sukmaningrum, E. (2001) . Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan    Pasca Trauma Karena Kekerasan (Domestic Violence) Pada Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 8. No. 2, 14-23
Stucki G, Cieza A, Melvin J. (2007). The international classification of functioning,            disability and health (ICF): a unifying model for the conceptual description of the Rehabilitation strategy. Journal  Rehabilitation Med; 39: 279_85.
United Nations Environment Programs (UNEP). (2003). Country Profile Indonesia           
            Available at www.ekh.unep.org          diakses tanggal 20 Februari 2013.
United National Development Programme (UNDP), BNPB. (2011). Koordinasi dan Telaah             atas Proses dan Pelaksanaan Renaksi            Merapi 2011-2013.      Dipresentasikan          dalam dalam Pertemuan Koordinasi dan             Telaah atas Proses dan Pelaksanaan            Renaksi Merapi 2011-2013 di             Yogyakarta,    15-16 November 2011
Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YIPD). (2005). PBB kecewa rekontruksi lambat.     Jakarta: YIPD