Jumat, 10 Mei 2013

BYSTANDER CPR


PENINGKATAN PERAN ORANG TUA SEBAGAI BYSTANDER PADA KASUS CARDIAC ARREST ANAK MELALUI PELATIHAN
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)



Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semeter
Mata Kuliah Gawat Darurat Lanjut 1
Fasilitator: Ns. Tony Suharsono, M.Kep





Disusun Oleh:

IKA SUBEKTI WULANDARI
126070300111012



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
            Henti jantung atau cardiac arrest pada anak merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan kardiovaskuler pada anak. Henti jantung adalah penghentian aktivitas pompa jantung secara mendadak dan tiba-tiba dimana curah jantung (cardiac output) menjadi tidak efektif dan adekuat yang mengakibatkan penghentian sirkulasi normal darah dalam tubuh untuk memberikan kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya (Muttaqin, 2009; Kattwinkel,. et al., 2010). Beberapa penyebab kasus henti jantung pada anak misalnya adanya Penyakit Jantung Bawaan (PJB),  Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), distress pernafasa dan kaus kecelakaan akibat bermain seperti tenggelam, tersedak dan sebagaianya (Lee & Jane, 2004). Gejala yang ditimbulkan anak ketika henti jantung meliputi hilangnya kesadaran, henti nafas, sianosis, denyut nadi tidak teraba, desaturasi oksigen, diam dan hipotonia (Kattwinkel,. et al., 2010). Beberapa kondisi tersebut biasanya mengarah pada kondisi yang mengancam kehidupan anak.
            Prevalensi mortalitas henti jantung pada anak sebagain besar terjadi di luar rumah sakit. Berdasarkan penelitian Naohiko et al (2008) bahwa paling banyak kematian anak akibat henti jantung terjadi di rumah. Di Amerika kasus kematian henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit mencapai 50 %. Sedangkan menurut Deborah (2011) sekitar 75% kejadian henti jantung akibat tenggelam di kolam renang dialami oleh anak-anak dibawah 5 tahun. Di Jepang dilakukan penelitian atas 5170 anak usia ≤ 17 tahun yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit selama periode 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 terdapat 3675 (71%) henti jantung dengan penyebab non kardiak dan 1495 (29%) dengan penyebab kardiak (Lancet, 2010). Sedangkan di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang secara pasti menyebutkan jumlah kejadian henti jantung anak yang terjadi di luar rumah sakit.
            American Heart Assosciation merekomendasikan Pediatric Chain of Survival sebuah rantai kehidupan anak yang terdiri upaya pencegahan, resusitasi jantung paru (RJP), akses langsung ke pelayanan medik, transportasi ke rumah sakit dan dukungan hidup lanjut anak (Berg et al, 2010). Rantai utama tersebut menekankan pada pemberian RJP sedini mungkin untuk meningkatkan survival rate anak. Pertolongan pertama dan Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR)  merupakan tindakan utama yang harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi jantung yang terhenti (Berg et al, 2010). Dalam hal ini peran orang tua sebagai orang yang pertama menemui kondisi henti jantung (bystander RJP) anak sangat memegang peranan yang krusial. Keberhasilan rantai kehidupan anak akan sangat ditentukan oleh peran orang tua dalam memberikan penanganan pertama saat anak tiba-tiba terjadi henti jantung.
            Berdasarkan beberapa penelitian peran bystander saat ini masih rendah. Di Swedia kasus henti jantung yang disaksikan oleh bystander 30-60% akan tetapi yang dilakukan RJP hanya 30% (Herlitz et al, 1999; Holmberg, 1998). Menurut Trudy (2008) meskipun kemauan orang tua untuk melakukan RJP cukup tinggi yaitu lebih dari 84% akan tetapi pada kenyataannya orang tua yang benar-benar melakukan RJP saat terjadi henti jantung pada anak hanya sekitar 15-30% saja. Rendahnya peran orang tua sebagai bystander RJP dimungkinkan karena adanya pengaruh dari faktor psikososial dari orang tua (Trudy, 2008)
            Tindakan RJP yang dilakukan sedini mungkin akan memberikan efek yang positif terhadap survival rate kasus henti jantung. Menurut Lancet (2010) Anak yang mendapat RJP oleh orang tua (bystander) secara bermakna mempunyai prognosis hasil neurologik yang lebih baik (5,4% (10/2439) dibandingkan dengan korban yang tidak mendapat RJP oleh bystander (1,9% (53/1279). The American Medical Assosciation and the American Academy of Pediatric merekomendasikan bahwa para orang tua harus memiliki pengetahuan dan keterampilan RJP pada anak terutama pada kasus tenggelam di kolam renang (Deborah, 2011). Selain itu pernyataan dari AHA membuktikan bahwa semakin cepat korban diberi tindakan RJP maka survival rate akan semakin meningkat. Korban yang tidak mendapatkan RJP sama sekali dan hanya mendapat defibrilasi pada menit ke-10 setelah serangan maka survival ratenya 0-2 %. Sedangkan korban dimana 2 menit setelah serangan langsung diberikan RJP kemudian menit ke-4 mendapat tindakan defibrilasi serta menit ke-8 mendapat bantuan hidup lanjut maka survival ratenya dapat mencapai 30% (Berg et al, 2010)
            Melihat kondisi di Indonesia khususnya untuk peran orang sebagai bystander RJP masih sangat perlu ditingkatkan. Banyak orang tua di Indonesia belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai tindakan Resusitasi Jantung Paru khususnya untuk anak. Minimnya kesadaran masyarakat dan kurang aktifnya pihak pemberi layanan kesehatan dalam peningkatan keterampilan RJP untuk masyarakat awam sangat memberikan pengaruh pada kondisi ini. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah usaha dalam meningkatkan peran orang tua sebagai bystander RJP pada henti jantung anak melalui pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) kepada para orang tua di Indonesia.
            Hadirnya pelatihan BHD untuk orang tua  diharapkan dapat meningkatkan kesadaran para orang tua di Indonesia terhadap pentingnya tindakan RJP saat menemui kondisi henti jantung pada anak. Pelatihan tersebut juga bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan RJP orang tua, meningkatkan survival rate dan menurunkan angka kematian pre hospital cardiac arrest anak. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas mengenai peningkatan peran orang tua sebagai bystander pada kasus cardiac arrest anak melalui pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD).
            International Liasion Committee on Resuscitation (2003) dan Australian Resuscitation Council Guideline (2006) merekomendasikan beberapa target kompetensi dalam pelatihan resusitasi untuk bystander diantaranya kesadaran akan kondisi gawat darurat, kemampuan mengaktifkan panggilan gawat darurat, kompetensi dalam memebrikan kompresi dada (RJP) dan bantuan ventilasi serta persiapan emosional dan kemampuan menghadapi kondisi emergency. Selain itu kemudahan terhadap akses terhadap program pelatihan RJP harus bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada program pelatihan BHD bisa dikembangkan dengan media lain seperti audiovisual untuk menunjang pembelajaran RJP konvensional. Pada akhir pelatihan bystander harus memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan RJP pada manikin serta perlu adanya pelatihan secara kontinyu sebagai upaya upgrading terhadap ilmu yang telah didapat.
            Kompetensi utama yang harus dikuasai orang tua yang mengikuti pelatihan BHD pada anak adalah ketepatan dalam memeberikan kompresi dada atau RJP. Menurut Kattwinkel (2010) resusitasi diberikan ketika denyut jantung semakin menurun yaitu kurang dari 60 kali per menit padahal sudah diberikan ventilasi secara adekuat selama kurun waktu 30 menit. Kompresi dada dilakukan dengan penekanan pada dada yaitu tepat dibawah kosta ketiga dengan kedalaman sepertiga diameter antero-posterior rongga dada 1½ inchi atau 4 cm pada bayi dan 2 inchi atau 5 cm pada anak. Perbandingan rasio antara kompresi dengan ventilasi berbeda antara anak dengan dewasa. Perbandingan pada anak yaitu 3:1, yaitu 3 kompresi dan 1 ventilasi. Kompresi dada tersebut dilakukan selama 120x/menit dengan waktu dari setiap kompresi adalah setengah detik (Kattwinkel,. et al., 2010). Apabila penyebab henti jantung pada neonatus/anak disebabkan karena cardiac cause maka rasio kompresi dan ventilasi adalah 30:2 (untuk satu penolong), dan apabila penyebab henti jantung pada neonatus/anak disebabkan karena non-cardiac cause maka rasio kompresi dan ventilasi adalah 3:1 (Hazinski, 2010).
            Saat ini telah berkembang berbagai metode pelatihan BHD untuk orang awam atau bystander diantaranya melalui metode konvensional maupun on line via internet. Metode konvensional merupakan metode dimana peserta pelatihan didampingi oleh pelatih atau instructure. Menurut Sim, Jo dan Song (2009) pada metode konvensional biasanya jumlah maksimal peserta adalah 35 orang, didampingi oleh beberapa instruktur yang merupakan dokter atau perawat yang telah tersertifikasi emergency dan memiliki pengalaman training BHD sebelumnya. Masing-masing kelas terdiri dari 3 sesi yaitu materi, praktek dan evaluasi. Setelah peserta didik mengikuti penyampaian materi, kemudian peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok didampingi 1 instruktur kemudian melakukan praktek terhadap manikin. Setelah kegiatan teori dan praktik selesai kegiatan diakhiri dengan evaluasi kognitif dan keterampilan melalui ujian.
            Metode selanjutnya adalah pelatihan RJP atau BHD melalui online via internet. Menurut Rehberg, Diaz dan Middlemas (2009) pada Januari 2000, National Safety Council (NSC) merupakan lembaga yang pertama kali meluncurkan program pelatihan computer-based cardiopulmonary resuscitation (CPR). Program ini menawarkan inovasi dan pendekatan terbaru bagi dunia pendidikan kesehatan. Program ini berbeda dengan program pelatihan konvensional baik dari metode pelatihan dan pemberian sertifikat. Dengan program computer-based ini, setiap peserta pelatihan dapat mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang mempunyai koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat awam tentang cardiopulmonary resuscitaion (CPR) (Perkins et al, 2012).


            Tindakan pemberian RJP yang tepat dan benar merupakan salah satu simpul utama dalam chain of survival pada anak. Berbagai pelatihan RJP dan BHD telah dilakukan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam memberikan tindakan RJP pada anak. Di luar negeri telah banyak dilakukan beberapa penelitian untuk mengetahui efektifitas pelatihan BHD untuk orang awam termasuk para orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Christoph, Henry, Jan dan Bernhard (2008) melibatkan 100 responden yang dibagi menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama adalah responden yang pernah mengikuti pelatihan BHD sebelumnya, sedangkan kelompok kedua adalah responden yang baru pertama kali mengikuti pelatihan BHD. Kedua kelompok tersebut kemudian diberi perlakuan yaitu pelatihan BHD selama 120 menit meliputi teori dan praktik serta semua sarana dan prasarana yang digunakan sama antara kedua kelompok termasuk instruktur pelatihan. Berdasarkan hasil evaluasi kedua kelompok tersebut didapatkan hasil bahwa kelompok pertama menunjukkan keterampilan RJP yang lebih baik dibandingkan kelompok kedua dilihat dari kedalaman dan kecepatan tekanan. Melihat hasil dari penelitian ini, maka pelatihan BHD secara berkala sangat dibutuhkan untuk mengupdate dan meningkatkan skill RJP para orang tua.
            Pelaksanaan pelatihan BHD pediatrik di Indonesia saat ini masih banyak difokuskan untuk tenaga kesehatan seperti perawat dan dokter. Padahal jika melihat esensi dari RJP yang dilakukan secara dini oleh para bystander maka memberikan efek positif terhadap peningkatan survival rate. Begitu pula untuk kasus cardiac arrest pada anak, orang tua merupakan bystander pertama yang memegang peranan penting dalam pemberian pertolongan pertama termasuk pemberian kompresi dada. Akan tetapi belum banyak kesadaran orang tua terhadap bagaimana menerapkan chain of survival ketika anak tiba-tiba tidak sadarkan diri. Hal ini juga disebabkan masih minimnya minat dan antusiasme para orang tua terhadap manajemen dini kasus henti jantung pada anak. Selain itu pelatihan BHD untuk orang awam di Indonesia masih belum banyak dilakukan, khususnya untuk para orang tua.
            Hal ini berarti manajemen pre hospital belum mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Pelayanan gawat darurat sebelum rumah sakit adalah tahapan yang sangat penting dan menentukan penanganan gawat darurat setelah di rumah sakit. Menurut Pathma, Orapan dan Siriorn (2008) pada saat terjadi cidera merupakan waktu emas (golden period) setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup korban, apa yang terjadi di golden periode sebelum di rumah sakit akan sangat mempengaruhi hasil akhir setelah di rumah sakit, begitupun selanjutnya penanganan di rumah sakit akan mempengaruhi hasil akhir yang dicapai pada masa pemulihan korban selamat. Kualitas hidup penderita pasca cidera akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode pra rumah sakit, bukan hanya tergantung dari fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Sehingga sudah selayaknya pelayanan gawat darurat itu dipandang sebagai sebuah sistem secara menyeluruh bukan hanya di rumah sakit saja.
            Usaha peningkatan pengetahuan dan keterampilan RJP untuk para orang tua di Indonesia seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama perawat sebagai sebuah profesi kesehatan dapat memaksimalkan fungsinya sebagai seorang edukator, Perawat dapat mentransfer knowledge dan juga keterampilan kepada para orang tua mengenai tehnik RJP dan BHD bisa melalui kegiataan posyandu di masyarakat, orang tua murid di komunitas sekolah atau masuk ke dalam perkumpulan sosial di masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro pada tanggal 25 Februari 2011 yang mengadakan pelatihan Basic Life Support (BLS) di satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Jepara sebagai wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan BLS diberikan kepada 30 personil satlantas polres karena polisi merupakan orang yang pertama kali menjumpai korban kecelakaan lalu ,lintas di lokasi kejadian. Dalam pelatihan tersebut, para personil polisi dibekali kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama pada fase pre hospital yaitu pembidaian, initial assessment, cara menghentikan perdarahan dan melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada korban kecelakaan lalu lintas.
            Penerapan pelatihan BHD untuk para orang tua di Indonesia jika dipandang berdasarkan analisa SWOT memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Segi kekuatan (strength) dari penerapan pelatihan BHD untuk orang tua didukung dengan adanya beberapa lembaga penyelenggara pelatihan kegawat daruratan seperti Yayasan ambulan gawat darurat 118 dan Lembaga Pro Emergency, selain itu terdapat 668.552 orang tenaga kesehatan di Indonesia dimana 32,91% adalah perawat (Departemen Kesehatan, 20012), menurut data pelatihan Pro Emergency (2011) terdapat 1000 perawat yang telah mendapatkan sertifikat pelatihan Basic Life Support (BLS). Sedangkan dari sisi kelemahan (weakness) dikarenakan masih minimnya kesadaran dan minat para orang tua mengenai pemberian RJP dan BHD pada henti jantung anak, biaya dan waktu untuk mengikuti pelatihan relatif tinggi (terutama untuk metode konvensional 2.000.000 sampai 2.500.000 rupiah selama kurang lebih 2 hari), sedangkan untuk metode online tidak semua daerah di Indonesia terjangkau jaringan internet dan tidak semua orang tua mampu menggunakan internet. Segi kesempatan (opportunity), program pelatihan BHD untuk orang tua dipandang mempunyai kesempatan dilakukan secara luas karena didukung dengan undang-undang no. 23 tahun 1992 dimana setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan seseorang, keluarga dan lingkungnnya selain itu juga mulai dicanangkannya konsep Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) oleh menteri kesehatan pada tahun 2000. Segi ancaman (threath) berasal dari kurangnya perhatian dari pemerintah dan tenaga kesehatan terhadap pentingnya pelatihan BHD untuk para orang tua di Indonesia.
            Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan RJP untuk para orang tua dalam menangani kasus cardiac arrest anak dapat dilakukan dengan pelatihan BHD baik secara konvensioanl maupun online via internet. Akan tetapi kenyataan di Indonesia pelatihan BHD masih banyak difokuskan untuk para tenaga kesehatan, sedangkan pelatihan BHD untuk orang awam termasuk orang tua masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan analisa SWOT pelatihan BHD untuk para orang tua sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Dibutuhkan komitmen yang kuat antara pemerintah dan semua pihak dalam meningkatkan pelatihan BHD untuk orang tua ini, agar dapat menciptakan managemen pelayanan kegawat daruratan yang solid dan menyeluruh



.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika

Kattwinkel, J., Perlman, J.M.., Aziz, K., Colby, C., Fairchild, K., Gallagher, J., Hazinski, M.F., Halamek, L.P., Kumar, P., Little, G., McGowan, J.E., Nightengale, B., Ramirez, M.m., Ringer, S., Sinom, W.M., Weiner, G.M., Wyckoff, M., Zaichkin, J.. (2010). Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Journal of The American Heart Association.

Lee A. Pyles, MD; Jane Knapp, MD. (2004). Role of Pediatricians in Advocating   Life      Support Training Courses for Parents and the Public. The          American         Academy of Pediatrics. Vol 114 No.16

Herlitz J, Bahr J, Fischer M, Kuisma M, Lexkow K, Thorgeirsson G.(1999)             Resuscitation in Europe: a tale of five European regions. Resuscitation            ;41(2):121–131.

Holmberg M, Holmberg S, Herlitz J, Gardelövf B. (1998). Survival after cardiac    arrest   outside hospital in Sweden. Resuscitation ;36:29–36.

Deborah Girasek. (2011). Evaluation of a brief intervention designed to increase
            CPR training among pregnant pool owners. Health Education Research:    Oxford University Press. Vol.26, 689-697

Lancet. (2010). Resusitasi Anak. Health Education Research, 375: 1347-54

Berg, M.D., Schexnayder, S.M., Chameides, L., Terry, M., Donoghue, A., Hickey, R.W., Berg, R.A., Sutton, R.M., Hazinski, M.F. (2010). Pediatric Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscittion and Emergency Cardiovascular Care.  Journal of The American Heart Association.

Trudy Dwyer. (2008). Psychological factor inhibit family members’ confidence to initiate CPR. Prehospital Emergency Care:  Central Quinsland University

International Liaison Committee on Resuscitation. (2003). Education in       Resuscitation. Resuscitation;59: 11–43.

Australian Resuscitation Council Guideline. (2006). Protective devices for expired             air resuscitation. Australasian College for Emergency Medicine and   Australasian Society for Emergency Medicin

Hazinski, M.F. (2010). Highlights of The 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC. American Heart Association
Sim, Jo & Song. (2009). Basic cardiac life support education for non medical        hospital employess. Emergency Medical Journal. 26: 327-330

Perkins, G.D., Kimani, P.K., Bullock, I., Cluttpon-Brock., Davies, R.P., Gale, M.,   Lam, J., Lockey, A., Stallard, N. (2012). Improving the Efficiency of    Advanced Life Support Training. Ann Intern Med. 157. p: 19-28

Rehberg, R.S., Diaz, L.g., Middlemas, D.A. (2009). Classroom Versus Computer- based CPR Training: A Comparison of the Effectiveness of Two       Instructional Methods. Athletic Training Educational Journal. 4(3). p: 98-       103  

Moli Pathma, Orapan Thosingha, Siriorn Sindgu. (2008). Pre-hospital Emergency             Care System for Trauma Patient: A Literature Analysis.Thailand: Thai             Journal of Nursing Council, Vol.23 No.1

Departemen Kesehatan. (2012). Bank data Sumber Daya Kesehatan. Available    at http://bpsdm.depkes.go.id/sdmk    diakses tanggal 16 April 2013

Keperawatan-Undip. (2012). Pelatihan Basic Life Support (BLS) di Satlantas Jepara. Available at http://www.keperawatan-undip.ac.id  diakses tanggal 16 April 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar