Jumat, 10 Mei 2013

TRIAGE PEDIATRIK ATS DAN ETAT


PENERAPAN TRIAGE PEDIATRIK BERDASARKAN AUSTRALASIAN TRIAGE SCALE (ATS) DAN EMERGENCY TRIAGE ASSESSMENT AND TREATMENT (ETAT)


Disusun Untuk Memenuhi Penugasan
Mata Kuliah Dasar-Dasar Keperawatan Gawat darurat
Fasilitator: Ns. M. Fathony, S.Kep, MNS






Disusun Oleh:

IKA SUBEKTI WULANDARI
126070300111012


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
            Triage merupakan komponen yang sangat krusial dalam pelayanan gawat darurat. Triage yang dilakukan secara benar dan akurat akan menentukan live saving pasien selanjutnya. Khusunya dalam kasus kegawatan anak, dimana anak bukan merupakan miniatur orang dewasa, sehingga dalam menentukan prioritas kegawatannyapun membutuhkan metode dan keteramapilan tersendiri. Perawat sebagai petugas kesehatan merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap validnya triage yang dilakukan. Keputusan dalam melakukan triage didasarkan pada tanda dan gejala yang ditampilkan oleh pasien. Terdapat berbagai macam panduan dalam melakukan triage, hampir disetiap negara memiliki panduan masing-masing. Dalam tulisan ini peneliti akan menganalisa tentang penerapan triage pediatrik berdasarkan Australasian Triage Scale  (ATS) dan Emergency Triage Assessment And Treatment (ETAT).
            Australasian Triage Scale (ATS) merupakan panduan triage yang didesain di ruang emergency rumah sakit di New Zealand Australia pada tahun 1993. Kategori dalam ATS didasarkan pada lamanya waktu pasien menerima tindakan. Dimana skalanya dibagi menjadi 5 yaitu ATS 1 harus segera ditangani (prosentase prioritas 100%), ATS 2 maksimal waktu tunggu 10 menit (prosentase prioritas 80%), ATS 3 maksimal waktu tunggu 30 menit (prosentase prioritas 75%), ATS 4 maksimal waktu tunggu 60 menit (prosentase prioritas 70%) dan ATS 5 maksimal waktu tunggu 120 menit (prosentase prioritas 70%). Waktu tunggu yang melebihi 2 jam menunjukkan terjadinya kegagalan akses dan kualitas pelayanan. Tata ruang dan peralatan dalam ATS harus memenuhi standar precaution (tempat cuci tangan dan sarung tangan), pengukur waktu, alat komunikasi yang memadai seperti telepon atau intercom dan fasilitas pendokumentasian triage (Australian College for Emergency Medicine, 2002)
            Emergency Triage Assessment and Treatment (ETAT) merupakan sistem triage yang dikeluarkan oleh Worl Health Organisation (WHO) dengan memilah penderita berdasarkan tingkat kegawatan dan prioritas penanganan. Sistem ini membagi penderita menjadi tiga kategori yaitu tidak mendesak/non urgent, prioritas/ priority sign dan emergency sign. Kondisi tidak mendesak merupakan kasus non urgent sehingga dapat menunggu sesuai gilirannya untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Kondisi prioritas atau priority sign harus diberikan prioritas dalam antrian untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan tanpa ada keterlambatan. Emergency sign dengan tanda kegawatdaruratan memerlukan penanganan kegawatdaruratan segera untuk menghindari kematian (WHO, 2005).
            Tanda kegawatdaruratan pada sistem ETAT dinilai dari kondisi Airway, Breathing, Circulation/Conciousness dan Dehydration (ABCD). Pada Airway yang dilihat adalah ada tidaknya sumbatan jalan napas (stridor), Breathing dengan menilai apakah ada kesulitan bernapas, adanya sesak napas berat (retraksi dada, merintih dan sianosis), Circulation dengan menilai tanda syok seperti akral dingin, capillary refill >3 detik, nadi cepat dan lemah, Conciousness dengan menilai apakah anak dalam keadaan tidak sadar (koma), kejang (convulsion) atau gelisah (confusion), sedangkan dehydration dengan menilai tanda dehidrasi berat pada anak karena diare seperti mata cekung atau turgor menurun (WHO, 2005). Akan tetapi jika tidak ditemukan tanda-tanda kegawatdaruratan maka perlu memeriksa tanda prioritas.
            Menurut WHO (2005) tanda prioritas meliputi konsep 4T3PRMOB. Dimana konsep tersebut terdiri dari Tiny baby (bayi kecil < 2 bulan), Temperature anak sangat panas), Trauma (terdapat trauma atau kondisi yang perlu tindakan bedah segera, Trismus, Pallor (sangat pucat), Poisoning (keracunan), Pain (nyeri hebat), Respiratory distress, Restless, Irritable or lethargic (gelisah, mudah marah, lemah), Referral (rujukan segera), Malnutrition (gizi buruk), Oedema (edema kedua punggung kaki) dan Burns (luka bakar). Anak dengan tanda prioritas harus didahulukan untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut dengan segera (tanpa menunggu giliran) serta jika ditemukan trauma atau masalah bedah segera diberikan tindakan bedah.
            Penerapan mengenai sistem ETAT untuk triage anak telah diteliti oleh  Tamburlini, Mario, Maggi, Vilarim dan Gove. (1999) dengan judul Evaluation of guidelines for emergency triage assessment and treatment in developing countries. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan metode ETAT pada pasien anak di rumah sakit negara berkembang. Penelitian ini dilakukan di Instituto materno Infantil de Pernambuco (IMIP) dengan melibatkan 6 Registered Nurse (RN) dan 2 dokter anak senior. Dokter tersebut telah mengikuti pelatihan Advanced Paediatric Life Support (APLS) sebelumnya dan RN tersebut telah memiliki pengalaman 3 sampai 4 tahun pelatihan tentang pediatrik dan mengikuti pelatihan ETAT seminggu sebelum penelitian dilakukan yang meliputi 10 jam teori dan 10 jam praktikum, akan tetai dokter juga menerima pelatihan ETAT setelah penelitian selesai dilakukan. Dimana nantinya RN melakukan triage dengan metode ETAT sedangkan dokter melakukan pengkajian dengan metode APLS. Anak yang dilakukan triage dengan usia 7 hari sampai 5 tahun yang dibawa ke ruang emergency. RN terlebih dahulu melakukan pengkajian kepada anak dan membuat rekomendasi intervensi sebelum dokter memutuskan. Disamping dokter melakukan pengkajian dengan metode APLS, dokter juga mengecek hasil pengkajian RN berdasarkan sistem ETAT dan melakukan pengkajian lanjut sebelum dilakukan intervensi.
            Setelah dilakukan penelitian jumlah anak yang datang ke ruang emergency sebanyak 3837 bayi dan anak dengan usia 7 hari sampai 5 tahun. Sebanyak 386 (10,1%) adalah anak dengan usia 2 bulan, 1368 (35%) usia kurang dari 1 tahun, sedangkan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:27. Pasien yang dilakukan triage ETAT sebanyak 731 anak, dimana 98 (2,6%) indikasi emergency (kelompok 1) dan 633 anak (16,5%) adalah kondisi prioritas (kelompok 2), selain itu ada 52 anak yang memiliki status emergency dan prioritas akan tetapi dimasukkan ke dalam kelompok 1. Sebanyak 426 pasien dilakukan triage metode APLS dimana 42 pasien diidentifikasi bahwa memerlukan pertolongan segera dan 468 pasien dengan status prioritas. Dari 731 kasus yang ditriage RN, kokter melihat terdapat 4 kesalahan negatif perawat (seharusnya emergency tapi dinilai sebagai prioritas) dalam melakukan triage (2 severe respiratory distress,  1 dengan syok dan 1 dengan severe dehydration) dan 3 kesalahan positif (seharusnya prioritas tapi dinilai emergency) yaitu 1 dengan moderate dehydration dan 2 dengan moderate respiratory distress. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa metode triage ETAT ketika dilakukan oleh perawat yang mendapatkan pelatihan khusus secara singkat dapat menunjukkan skrining yang bagus dalam menentukan prioritas pasien dan dapat dijadikan dasar dalam memberikan treatment saat kondisi gawat darurat (Tamburlini et al, 1999).
             Sedangkan penerapan mengenai ATS pada triage anak telah diteliti oleh
Durojaye dan O’Meara (2002) dengan judul A study of triage of pediatric patients in Australia. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan triage anak di ruang emergency umum (gabungan anak dan dewasa) dan emergency khusus anak serta untuk mengukur reabilitas penerapan Australasian Triage Scale oleh perawat dalam melakukan triage pada anak. Penelitian ini melibatkan 11 rumah sakit baik yang memiliki ruang emergency khusus anak maupun umum. Perawat triage harus mengisi 2 macam kuisioner dimana kuisioner pertama berisi 25 pertanyaan yang berisi tentang sebuah kasus dan perawat harus menjawab skor triagenya berapa berdasarkan ATS (jawaban benar minimal 50%). Sedangkan kuisioner kedua adalah untuk mengetahui jumlah data triage pada tahun 1999 dimana kategori triage didasarkan pada jenis penyakit anak.
            Hasil dari penelitian tersebut adalah 78 perawat dari 10 rumah sakit memberikan respon terhadap kuisioner yang diberikan. Sebanyak 63% dari semua respon perawat kesesuaian jawaban lebih dari 50% yaitu sebnyak 94%. Perawat yang bekerja di ruang khusus emergency anak memiliki konsistensi yang lebih tinggi (79%) dalam menggunakan ATS dibandingkan perawat yang bekerja di ruang emergency umum (50%). Perawat ruang emergency pediatric lebih suka menggunakan skor ATS secara full yaitu 4 dan 5 (71%) dalam mentriage anak dibandingkan dengan perawat di ruang emergency umum (47%).
            Penggunaan sistem ATS harus dilakukan secara konsisten dimanapun triage anak dilakukan, karena dalam mentriage anak harus didasarkan pada objektif klinik yang dimunculkan. Karena penelitian tersebut menggambarkan perbedaan yang jelas antara proses triage yang dilakukan oleh perawat di ruang emergency khusus anak dengan ruang emergency umum. Hal ini juga dimungkinkan pengaruh proses kegiatan pelatihan yang dilakukan di masing-masing rumah sakit. Selain itu pengambilan sampel yang berbeda karakteristik yaitu perawat di ruang emergency umum dan khusus pediatric akan memberikan hasil bias yang cukup tinggi jika data statistiknya tidak dikontrol secara ketat. Penggunaan kuisioner yaitu penentuan prioritas melalui cerita kasus yang tertulis tentu memiliki keterbatasan yang cukup tinggi karena hanya bisa membayangkan, dibandingkan dengan kasus yang disajikan secara langsung dimana perawat dapat mengkajinya secara fisik dan visual.
            Berdasarkan analisa pada kedua penelitian diatas penerapan proses triage pada anak baik menggunakan metode ETAT maupun ATS sama-sama menggambarkan bahawa pengetahuan dan keterampilan perawat yang terus diasah baik melalui pelatihan atau seringnya pengalaman menangani kasus sangat berpengaruh terhadap kualitas triage yang dilakukan. Perawat yang memiliki pengatahuan dan pengalaman tinggi tentu akan lebih mudah dalam menentukan prioritas jika dibandingkan yang minim pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu sangat penting dilakukan pelatihan atau training terkait penerapan sebuah metode triage tertentu. Apalagi melihat kondisi sistem triage di Indonesia saat ini, dimana masing-masing rumah sakit memiliki adaptasi tersendiri terhadap metode triage yang dianut, sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap skill perawat di Indonesia dalam melakukan triage.
            Jika melihat metode triage antara ETAT dan ATS penulis berpendapat bahwa yang paling sesuai diterapkan di Indonesia khususnya untuk triage anak adalah metode ETAT. Pernyataan ini juga didukung oleh Kusdiyan, Hilmanto; dan Somatia (2008) bahwa metode ETAT sering dipakai sebagai metode triage di negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan dalam metode ETAT lebih simpel dan terperinci dengan baik mengenai batasan karakteristik masing-masing prioritas. Metode ETAT juga menjelaskan mengenai algoritma langkah-langkah dalam menentukan prioritas serta konten isi juga lebih spesifik tentang kondisi kegawatan anak. Sedangkan metode ATS dalam menentukan prioritas hanya memberikan gambaran secara singkat mengenai lamanya waktu pasien menerima tindakan. Hal ini sangat sulit diterapkan di Indonesia karena melihat kondisi overcrowded  ruang IGD yang relatif tinggi, rasio perawat pasien yang tidak ideal serta ruang triage yang tidak terstandar dengan baik akan membuat waiting time semakin lama sehingga target pencapaian waktu yang ditetapkan oleh ATS akan sulit dicapai.
            Berdasarkan pembahasan diatas kualitas proses triage anak sangat ditentukan oleh pengetahuan dan skill perawat dalam melakukan triage berdasarkan metode tertentu. Sehingga dibutuhkan training atau pelatihan untuk perawat triage di Indonesia dalam melakukan triage pada anak. Metode triage yang lebih sesuai diterapkan di Indonesia adalah metode ETAT karena lebih simple dan terperinci dengan baik mengenai batasan karakteristik masing-masing prioritas. Akan lebih baik jika Indonesia memiliki guideline tersendiri tentang metode triage tentunya disesuaikan dengan karakteristik kondisi kesehatan di Indonesia termasuk juga tentang guideline triage khusus untuk pediatrik.
                                                                             
           


DAFTAR PUSTAKA

Australian College for Emergency Medicine (ACEM). (2002). The Australian         triage scale. Emergency Medicine; 14: 335-336

 World Health Organisation (WHO). (2005). Pocket Book of Hospital Care             Children, Guidelines for the Management of Common Illness with Limited            Resources, alih bahasa. Jakarta: WHO Indonesia

Linda Durojaye & Matthew O’Meara. (2002). A study of triage of pediatric patients            in Australia. Emergency Medicine; 14: 67-76

Giorgio Tamburlini, Simona Di Mario, Ruben Schindler Maggi, Jose Nivaldo          Vilarim, Sandy Gove. (1999). Evaluation of guidelines for emergency         triage assessment and treatment in developing countries. Arch Dis Child;   81:478–482

Nanang Kusdiyan; Danny Hilmanto; Dadang H. Somatia. (2008). Evaluation of      kumar triage score compared with ETAT WHO triage in sorting patient at   pediatric          emergency department. Bandung: Fakultas Kedokteran             Universitas Padjajaran           
            available at www.isjd.com      diakses tanggal 25 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar