LITERATURE REVIEW
ANALISIS KOMPETENSI PERAWAT DALAM
MEMBANTU PASIEN
MENGAMBIL KEPUTUSAN KLINIK
Disusun
Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata
Kuliah Pendidikan Keperawatan Klinis
Fasilitator: Ns. Dian Susmarini, S.Kep.,
MN
Disusun
Oleh:
IKA SUBEKTI WULANDARI
126070300111012
PRODGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
2013
ANALISIS KOMPETENSI PERAWAT DALAM
MEMBANTU PASIEN
MENGAMBIL KEPUTUSAN KLINIK
A.
Latar belakang
Seorang perawat memiliki
fungsi dan peran tertentu dalam menjalankan pekerjannya. Sebagai seorang
advokator perawat membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan
berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan keputusan atau persetujuan tindakan keperawatan yang diberikan
klien (Asmadi, 2008). Peran perawat dalam membantu pasien mengambil keputusan
klinis sangat membutuhkan keterampilan perawat dalam berkomunikasi baik dengan
pasien maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Decision making adalah proses memilih dan menentukan tindakan pada
situasi yang harus membuat prediksi ke depan, membuat perkiraan berdasarkan
fakta-fakta serta memilih salah satu tindakan diantara dua pilihan atau lebih
(Syafarudin, 2004). Dalam pengambilan keputusan otonomi pasien harus dihormati
secara etik, akan tetapi hal itu membutuhkan komunikasi yang efektif seorang
perawat dan pasien atau keluarga dalam mengambil keputusan untuk dapat
menyetujui atau menolak tindakan.
Kemampuan komunikasi perawat
saat ini belum banyak mendapatkan porsi yang cukup dalam pembelajaran di
pendidikan keperawatan maupun di klinik. Mahasiswa atau perawat lebih berfokus
dalam tindakan perasat dan skill dibandingkan keterampilan dalam berkomunikasi
dengan pasien atau profesi kesehatan lain. Padahal jika melihat peran dan
fungsi perawat, sebagaian besar membutuhkan tehnik berkomunikasi yang efektif,
mengingat perawat selalu berhubungan dengan manusia.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
penulis tertarik untuk membahas mengenai
kompetensi perawat dalam membantu pasien mengambil keputusan klinis. Aspek yang
ingin digali adalah terkait dengan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
komunikasi pengambilan keputusan, bagaimana metode komunikasi pengambilan
keputusan yang efektif dan aspek apa saja yang perlu diperhatikan saat membantu
pasien mengambil keputusan klinis. Analisa yang dilakukan dalam tulisan ini
adalah dengan menggunakan literature
review dari berbagai jurnal yang terkait dengan peran perawat dalam
membantu pasien mengambil keputusan klinis. Sumber-sumber tersebut diperoleh melalui
penelusuran internet data base EBSCOhost.
B. Literature
Review
Pengambilan
keputusan merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa pihak di dalamnya. Terdapat
dua model proses pengambilan keputusan yang disampaikan oleh Mccullough et al
(2010) dan Mary & Richard (2010) sebagai berikut:
Gambar 1. Model pengambilan keputusan
(Mary & Richard, 2010)
Gambar 2. Model langkah pengambilan keputusan
Mccullough et al (2010)
Model dari Mary dan Richard (2010) menekankan
pentingnya peran aktif pasien dalam pengambilan keputusan. Proses tersebut
dianggap sebagai sebuah cara berpikir dan berkomunikasi dimana tenaga kesehatan
dan pasien sama-sama berusaha memahami kondisi. Model ini difokuskan pada
pengambilan keputusan terhadap masalah yang belum pasti prognosisnya.
Penjelasan mengenai masalah dan solusi serta kemungkinan resiko harus
disampaiakan dengan jelas. Penjelasan harus berorientasi pada tujuan, nilai,
pemahaman dan kecenderungan, hal ini bisa divalidasi dengan memberi pertanyaan
balik, melihat ekspresi, keinginan dan masalah. Selain itu berdialog untuk
mengidentifikasi masalah utama dan bernegosiasi untuk mencapai solusi. Strategi
yang digunakan dalam model tersebut meliputi pemberian penjelasan yang jelas,
memvalidasi pemahaman nilai, kebutuhan dan kepentingan pasien, menentukan
masalah utama, mencapai persetujuan tindakan dan melakukan follow up penerimaan. Dalam model ini pasien diberi kesempatan yang
seluas-luasnya dalam mengambil sebuah keputusan, sedangkan tenaga kesehatan
disini berperan sebagai fasilitator.
Sedangkan
model pengambilan keputusan menurut Mccullough et al (2010) juga diterapkan
pada kondisi yang belum jelas prognosisnya. Akan tetapi dalam model ini
terdapat 5 langkah dalam proses pengambilan keputusan. Pertama tenaga kesehatan
perlu mempertimbangkan hal-hal penting sebelum memulai komunikasi seperti apa
masalah utamanya, apa saja kemungkinan solusinya, bagaimana efek positif dan
negatifnya serta memvalidasi terhadap nilai, pengetahuan dan keyakinan terhadap
etik. Kedua adalah menjelaskan pilihan solusi kepada klien. Hal yang paling
sulit adalah menyampaikan tindakan yang belum jelas hasilnya dari sisi evidence base. Ketiga adalah pasien
mulai mengambil sebuah keputusan, peran perawat disini adalah mendukung pasien
untuk mengambil keputusan. Biasanya pasien sulit mengambil keputusan karena
tidak tau, sehingga penambahan informasi, pengulangan poin penting dan dukungan
emosional sangat diperlukan. Keempat adalah pasien melaksanakan keputusan,
tugas perawat adalah berusaha menyeimbangkan anatara harapan dan fakta, perawat
mengkaji/mengevaluasi perasaan pasien, memantau efek samping dan langkah
terakhir menghentikan tindakan jika prognosis buruk.
Menurut
Mary dan Richard (2010) terdapat lima faktor yang mempengaruhi kualitas sebuah
proses shared decision making. Pertama
adalah solusi yang ditawarkan harus didasarkan pada level evidence base, artinya jika suatu tindakan belum jelas prognosisnya
maka harus mempertimbangkan pada hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan
terkait kasus tersebut. Kedua harus mempertimbangkan nilai dan keyakinan yang
dianut pasien, hal ini berpengaruh pada aspek kognitif dan persepsi pasien.
Ketiga selalu melibatkan pasien dalam penetapan harapan dan kebutuhan, sehingga
pasien dalam hal ini didorong untuk berperan aktif. Keempat terkait dengan
aspek etik, dalam melakukan tindakan keputusan tenaga kesehatan telah mendapat
persetujuan dari pasien dan terakhir adalah keputusan tindakan tersebut mungkin
untuk dilakukan.
Sedangkan
Linda Kristjanson et al (2005) menyatakan bahwa dalam berkomunikasi untuk
mengambil sebuah keputusan dipengaruhi keterampilan komunikasi yang efektif,
karena dengan komunikasi yang baik dan efektif akan memberikan informasi dan
pemahaman yang jelas kepada pasien. Hal tersebut harus didukung dengan
pengetahuan dan pengalaman perawat terhadap bidangnya. Perawat yang memahami
dan menjiwai segala aspek dalam bidangnya akan dapat memberikan sumber
informasi yang valid dan menyeluruh kepada pasien. Dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan pasien, perawat juga harus memilki sikap empati dan respect terhadap pasien dan keluarga.
Sikap tersebut akan membantu timbulnya trust
saat fase membina hubungan saling percaya. Selain itu rasa percaya diri dan
menyadari peran apa yang sedang dijalankan akan meningkatkan sikap
profesionalisme tenaga kesehatan.
C.
Pembahasan
Komunikasi
merupakan faktor utama dalam membantu pasien membuat keputusan klinis. Hal ini
didukung oleh penelitian Mary dan
Richard (2010) bahwa dalam membantu mengambil keputusan komponen terpenting
adalah komunikasi. Pertukaran informasi dijalin oleh pihak satu dengan pihak
lain sehingga terjadi suatu proses interaksi hubungan dan penyampaian informasi
atau pesan yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Komunikasi yang
dilakukan tersebut hendaknya memiliki makna dan hasil yang membuat pihak yang
melakukannya merasakan manfaat dari kegiatan interaksi tersebut. Pendapat ini
sejalan dengan Jurgen, France, Fulop dan Friedemann (2011) bahwa seseorang
dalam membuat keputusan didasarkan pada masukan informasi dari luar yang
kemudian diinternalisasi dan diwujudkan dalam bentuk representatif. Informasi
tidak bersifat mengendalikan keputusan akan tetapi informasi dijadikan sebagai
input untuk membangun self organisation
yang didukung dengan aspek kognitif.
Aspek yang
mendukung proses komunikasi dalam pengambilan keputusan adalah aspek kognitif. Aspek
kognitif antara pasien dan tenaga kesehatan memiliki kapasitas dimensi yang berbeda.
Menurut Mary dan Richard (2010) aspek kognitif tenaga kesehatan meliputi
pengetahuan mengenai fakta-fakta klinik, pengalaman klinik, pengetahuan
mengenai kondisi pasien dan persepsi mengenai pasien. Sedangkan aspek kognitif
pasien meliputi pemahaman mengenai fakta klinis, pengalaman personal dan
persepsi mengenai tenaga kesehatan. Akan tetapi pemahaman pasien terhadap
informasi dari tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh level stres emosional. Hal
ini dikarenakan stress dapat mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang dan
mengganggu sistem kerja saraf di otak. Emosi juga berpengaruh pada pematangan
neuron pada otak sehingga hantaran saraf tidak terbentuk sempurna (Mccullough,
Mckinlay, Barthow, Moss & Wiss, 2010).
Selain aspek komunikasi dan kognitif, bahwa
dalam membantu mengambil keputusan juga dibutuhkan intuisi dari seorang
perawat. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Jean dan Victoria (2010) bahwa intuisi
digunakan perawat untuk mengidentifikasi pemahaman pasien dan memvalidasi
apakah butuh keterangan lebih lanjut atau tidak. Terdapat dua macam intuisi
yaitu intuisi psikologis dan spiritual dan intuisi yang tumbuh karena diasah
dengan pengalaman. Intuitive
merupakan hal yang abstrak, bersifat kemungkinan atau gambaran, sedangkan Think merupakan kecenderungan seseorang
untuk logis dalam membuat keputusan dengan mengesampingkan emosi. Instrumen
yang biasa digunakan untuk mengukur dua hal tersebut adalah Rational Experiental Inventory (REI)
(Pacini & Epstein, 1999).
Di dalam proses komunikasi pembuatan
keputusan, perawat juga harus memperhatikan sistem interpersonal. Hal ini
dinyatakan oleh Jurgen et al (2011) bahwa hubungan interpersonal merupakan hal
yang terpenting dalam komunikasi. Aspek interpersonal tersebut terdiri dari
bahasa verbal dan non verbal. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam tahap
komunikasi, perawat tidak hanya berfokus pada bahasa verbal saja akan tetapi
juga berusaha mengidentifikasi bahasa non verbal sebagai sebuah respon dari
pemahaman dan persepsi pasien. Proses tersebut bisa didukung dengan penggunaan
intuisi perawat seperti teori yang dijelaskan oleh Jean dan Victoria (2010).
Persamaan persepsi antara pasien dan
tenaga kesehatan juga merupakan aspek yang tidak kalah penting dalam proses shared decision making. Dari beberapa
jurnal yang dibahas, dua jurnal mengatakan bahwa salah satu faktor keberhasilan
pembuatan keputusan adalah sejajarnya persepsi antara pasien dan tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan dan pasien harus satu persepsi mengenai kondisi,
perspektif situasi dan pesetujuan keputusan. Masing –masing menjalankan
fungsinya dengan baik, tenaga kesehatan sebagai fasilitator dan pasien terlibat
aktif untuk memutuskan (Jurge et al, 2011; Mary & Richard, 2010). Termasuk
persepsi terhadap peran masing-masing tidak boleh berseberangan, sehingga
memudahkan dalam proses pemahaman informasi dan pembuatan keputusan.
Jika
melihat pendapat dari Linda Kristjanson et al (2005) Mary dan Richard (2010)
kedua pendapat tersebut menyoroti aspek yang berbeda dalam menganalisa
faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi pengambilan keputusan. Pendapat dari
Mary dan Richard (2010) lebih menekankan pada faktor eksternal seperti solusi
yang ditawarkan, nilai dan persepsi pasien, keterlibatan pasien dalam mengambil
keputusan dan kemungkinan pelaksanaan tindakan. Sedangkan pendapat dari Linda
Kristjanson et al (2005) lebih berfokus pada faktor internal dari perawat
seperti kemampuan komunikasi, pengetahuan dan pengalaman perawat, raasa empati,
respect, percaya diri dan sadar akan
peran. Sehingga jika kedua pendapat ini digabungkan, maka faktor yang
mempengaruhi proses pengambilan keputusan bisa dilihat secara menyeluruh baik
faktor internal dan eksternal.
Pada
aplikasi pembelajaran klinik di Inodenesia, khususnya tentang komunikasi
pengambilan keputusan belum banyak mendapat prioritas perhatian. Pembelajaran
klinik lebih banyak difokuskan tentang latihan keterampilan prosedur tindakan,
analisa penyakit atau kasus pasien, pengelolaan asuhan keperawatan dan
sebagainya. Padahal perawat dalam melakukan tugas nya kepada pasien, mau tidak
mau pasti terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Penulis melihat bahwa
peran perawat sebagai advokator dan kolaborator belum begitu terlihat di
lapangan. Misalnya saat pemberian informed
consent atau persetujuan tindakan keperawatan, perawat sering kali
berforientasi pada pasien mau menerima tindakan atau tidak. Padahal dalam hal
tersebut perawat seharusnya bisa memainkan peran sebagai seorang advokator,
edukator atau bahkan kolaborator terhadap tenaga kesehatan lain. Oleh karena
itu pembelajaran klinik mengenai komunikasi pengambilan keputusan sangat
diperlukan dalam rangka meningkatkan kompetensi perawat.
D. Penutup
Berdasarkan analisa dari beberapa jurnal
diatas maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan
sebagai acuan pembelajaran di klinis mengenai kompetensi perawat dalam membantu
pasien mengambil keputusan klinis. Aspek yang perlu diperhatikan dalam proses
pengambilan keputusan meliputi komunikasi efektif, intuisi perawat, sistem
interpersonal, persamaan persepsi antara pasien dan tenaga kesehatan serta
aspek kognitif pasien dan tenaga kesehatan. Terdapat dua metode pengambilan
keputusan yaitu metode yang berpusat pada peran aktif pasien (berfokus pada
nilai dan kebutuhan pasien) dan metode pengambilan keputusan yang meliputi lima
langkah yaitu persiapan sebelum interaksi, menyampaikan informasi, pasien
memilih solusi, pasien melakukan tindakan keputusan dan evaluasi tindakan.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan meliputi dua
faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan
kualifikasi dan kompetensi perawat seperti kemampuan komunikasi, pengetahuan
dan pengalaman perawat, raasa empati, respect,
percaya diri dan sadar akan peran. Faktor eksternal meliputi aspek diluar
internal perawat seperti solusi yang ditawarkan, nilai dan persepsi pasien,
keterlibatan pasien dalam mengambil keputusan dan kemungkinan pelaksanaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafaruddin Anzizhan. (2004). Sistem Pengambilan Keputusan pendidikan. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Asmadi.
(2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
Kusnanto.
(2004). Pengantar Profesi dan praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC
Mary
C Polti & Richard Street. (2010). The importance of communication in collaborative decision making:
facilitating shared mind and the management
of uncertainty. Journal of Evaluation In
Clinical Practice 17, 579-584.
Mccullough,
Mckinlay, Barthow, Moss & Wiss. (2010). A model of treatment decision making when patient have
advanced cancer: how do cancer treatment
doctors and nurses contributed to the process?. Europen Journal of
Cancer Care 19, 482-491.
Jean
R Pretz & Victoria N Folse. (2011). Nursing experience and preference for intuition in decision making. Journal of Clinical Nursing. 20,
2878-2889
Jurgen
Kasper, France Legare , Fulop Scheibler & Friedemann Geiger. (2011). Turning
signal into meaning “Shared decision making” meets communication theory. Blackwell Publishing Ltd Health
Expectation 15, 3-11.
Leanne
Monterosso, Linda Kristjanson, Peter, Mary Mulcahy, Beng Gee Holland, Sarah Grimwood & Kate White. (2005). The
role of the neonatal intensive care
nurse in decision making: Advocacy, involvement in ethical decision and communication. International Journal of Nursing Practice 11,
108- 117
Pacini R & Epstein S.
(1999). The relation of rational and experiental information processing styles to personality, basic
beliefs and the ratio bias phenomenon.
Journal of Personality and Social Psychology
76, 972-987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar