Jumat, 10 Mei 2013

MASALAH PEMBELAJARAN KLINIK


ESSAY

ANALISA MASALAH PEMBELAJARAN KEPERAWATAN KLINIK
DI INDONESIA


Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Pendidikan Keperawatan Klinis
Fasilitator: Yulian Wiji Utami, S.Kp., M.Kes






Disusun Oleh:

IKA SUBEKTI WULANDARI
126070300111012



PRODGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2013





            Dampak globalisasi dan kemajuan zaman telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan. Persaingan dalam peningkatan sumberdaya manusia membuat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kualitas pendidikannya. Sistem perencanaan metode pembelajaran yang efektif akan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi mahasiswa. Termasuk dalam dunia pendidikan keperawatan.
            Pendidikan keperawatan saat ini dituntut untuk dapat menghasilkan lulusan tenaga keperawatan yang kompeten dan berstandar nasional maupun internasional (Nurhadi, 2004). Penyelengggaraan pendidikan dituntut dapat dengan cepat merespon proses pembelajaran yang kompleks dan berkelanjutan dalam menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan dapat bekerja sesuai bidang ilmunya dan diterima dimasyarakat secara baik. Oleh karena itu suatu Perguruan Tinggi harus membekali peserta didiknya dengan attitude, knowledge, skill dan insight sehingga dapat menciptakan lulusan perawat yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi (Nursalam & Ferry, 2008)
            Menurut Rika (2009) Asosiasi Institusi Pendidikan Nurse Indonesia (AIPNI) menetapkan pendidikan keperawatan di Indonesia dapat ditempuh dengan menyelesaikan dua tahap pendidikan yaitu tahap pendidikan akademik dengan gelar S.Kep dan tahap pendidikan profesi dengan gelas Ners (Ns). Kedua tahapan ini merupakan tahapan pendidikan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Program pendidikan profesi disebut juga sebagai proses pembelajaran klinik, karena sepenuhnya kegiatan dilaksanakan di lahan praktik seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti wherda, keluarga dan komunitas. Dalam tahap profesi peserta didik mengaplikasikan teori dan konsep-konsep yang telah didapat selama akademik.
            Tujuan dari praktik klinik selain menerapkan konsep adalah diharapkan peserta didik lebih aktif dalam setiap tindakan sehingga terampil dalam menggunakan teori dan tindakan. Hal lain yang menjadi pencapaian di lahan klinik adalah kemampuan pengambilan keputusan klinis yang mengintegrasikan teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian keterampilan khusus. Di lahan klinik peserta didik juga dapat bereksperimen dengan menggunakan konsep dan teori untuk praktik, menyelesaikan masalah dan mengembangkan bentuk perawatan baru (Nursalam & Ferry, 2008).
            Menurut Schweek dan Gebbie (1996) unsur utama dalam pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran dikelola di lahan praktik. Oleh karena itu perlu disiapkan panduan pembelajaran klinik untuk mahasiswa dan pembimbing klinik agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kualitas melalui lingkungan belajar dengan role model. Hal ini erat kaitannya dengan peran pengajar pada lingkungan klinis yang bertujuan mendorong kemandirian dan kepercayaan diri mahasiswa dalam mencapai target kompetensinya.
            Sejauh ini pelaksanaan kegiatan pembelajaran klinik di Indonesia masih perlu mendapat perhatian khusus. Masih banyaknya permasalahan yang terjadi di lingkungan klinik terkait dengan kebijakan dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan,perbandingan rasio antara instruktur klinik dengan jumlah mahasiswa, kompetensi instruktur klinik yang belum terstruktur dengan baik serta kolaborasi pembimbing akademik dan klinik yang belum sinkron turut mempengaruhi kualitas pendidikan keperawatan klinis di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis masalah-masalah dalam pembelajaran klinik keperawatan di Indonesia
            Proses kegiatan pembelajaran di lahan klinik sangat dipengaruhi peran dari seorang pembimbing klinik yang biasa disebut perseptor atau Clinical Instructure (CI) (Watt, 1990). Sebagai seorang perseptor, perawat bertanggung jawab terhadap semua tindakan mahasiswa selama pembelajaran di lahan praktik. Seorang perseptor juga harus membagi antara tindakan yang menjadi tanggung jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya. Sehingga dalam melakukan tugasnya seorang perseptorsip harus benar-benar fokus terhadap peran dan fungsinya. Menurut penelitian Akhmad (2006) terdapat 3 dari 6 orang clinical instructure atau pembimbing klinik di ruang rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin menyatakan bahwa pengelolaan ruang rawat inap kurang baik dalam praktek klinik mahasiswa. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengorganisasian peserta didik, alat dan bahan keperawatan serta tidak adanya pembagian tugas dan koordinasi saat praktek.
            Secara ideal menurut Davison dan Williams (2011) di negara Denmark satu orang persepstorsip membimbing satu orang mahasiswa. Akan tetapi jika melihat kenyataan dipembelajaran klinik Indonesia satu orang CI harus membimbing 6 sampai 10 mahasiswa bahkan bisa lebih di satu bangsal perawatan (Anton, 2012). Dalam menjalankan tugasnya, selain bertanggungjawab membimbing mahasiswa CI juga mempunyai tanggung jawab fungsional sebagai perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Sehingga dalam satu kali dinas (8 jam) CI dituntut untuk melakukan bimbingan, berdiskusi tentang kasus bersama mahasiswa sekaligus melakukan perawatan terhadap pasien, Oleh karena itu  bimbingan menjadi tidak berkualitas karena keterbatasan waktu dan tenaga.
            Selain masalah mengenai rasio antara mahasiswa praktik dan pembimbing klinik, masalah lain yang sering muncul adalah mengenai kompetensi seorang CI dalam melakukan bimbingan klinik yang masih perlu dipertanyakan. Menurut Rika (2009) seorang pembimbing klinik seharusnya memiliki kemampuan mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan klinis terbaru, menganalisa teori dari berbagai sumber, menekankan pemahaman konseptual kepada mahasiswa dan membantu mahasiswa dalam menghubungkan teori yang melandasi praktik keperawatan. Selain itu pembimbing klinik juga dituntut untuk dapat menyampaikan atau mentransfer pengetahuan, memperlihatkan kompetensi klinis, keahlian dan sikap serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh mahasiswa.
            Fenomena yang sering ditemui adalah mahasiswa sering kali tidak bisa mencapai target kompetensi sesuai yang ditargetkan dari standar pendidikan keperawatan (Anton, 2012). Mahasiswa kurang mendapat bimbingan maksimal melalui bed side teaching atau ronde keperawatan misalnya tentang pemeriksaan fisik, anamnesa, perawatan luka dan sebagaianya. Fenomena lain adalah mengenai evaluasi terhadap laporan asuhan keperawatan mahasiswa. Beberapa pembimbing cenderung mengevaluasi secara formalitas, tidak mengecek secara langsung tentang kebenaran tindakan keperawatan yang dilakukan mahasiswa terhadap pasien. Selain itu dalam melakukan responsi pembimbing cenderung tidak menilai penguasaan teori dan keterampilan mahasiswa dalam bertindak melainkan hanya mengevaluasi tentang pengetahuan mahasiswa saja (Anton, 2012). Masalah lain adalah mengenai kualifikasi pendidikan seorang pembimbing klinik yang seharusnya S1 Keperawatan, namun pada kenyataannya masih ditemukan pembimbing klinik dengan pendidikan Diploma III (DIII) keperawatan bahkan lulusan non keperawatan (Syafaruddin, 2002)
            Peningkatan terhadap kualitas seorang pembimbing klinik, baik yang berasal dari perawat rumah sakit ataupun dari pembaimbing akademik mutlak diperlukan. Menurut pendapat dari Atkins dan Williams (1995) menyebutkan bahwa pembimbing harus mendapatkan pelatihan. Pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan pembimbing, bisa bertukar pikiran dengan pembimbing lain dan melakukan refleksi bersama (Waters, 2003). Penelitian lain membuktikan bahwa proses bimbingan mahasiswa oleh pembimbing akademik yang mendapatkan pelatihan mentoring lebih efektif dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pelatihan, selain itu bimbingan dengan metode konvensional kurang efektif (Tri & Yuni, 2012).
            Menurut Syafaruddin (2002) praktik klinik keperawatan belum mengacu pada pedoman pengelolaan praktik kerja lapangan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan. Belum ada persamaan persepsi antara pembimbing klinik dan akademik dalam kegiatan pemantauan dan penilaian praktik klinik keperawatan. Masih sering ditemui dilapangan ketika mahasiswa akan mencapai sebuah target kompetensi, ternyata ada perbedaan antara metode yang diajarkan oleh pembimbing akademik dan pembimbing klinik, sehingga mahasiswa sering kali dibuat bingung. Menurut Helen, Pam dan Mike (2011) ketika mahasiswa praktek di klinik sering kali harus belajar keras dan mandiri karena menemui beberapa perbedaan antara teori yang didapat dan pelaksanaan praktek di lapangan.
            Peran pembimbing klinik dalam mentorship sangat penting dalam pencapaian target kompetensi mahasiswa. Peran seorang mentor di Indonesia menurut Nurachmach (2007) dimana mentor mampu membuat menti (peserta mentorship) yang tadinya tergantung menjadi mandiri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang diharapkan terjadi yaitu mengalami sendiri dan menemukan sendiri fenomena praktek keperawatan dimana hal ini diharapkan dapat membangun kepercayaan diri, harga diri dan kesadaran diri yang merupakan fundamental dalam penyelesaian masalah. Sedangkan peran seorang mentor di Eropa menurut Merja, Hannele, Kerttu, David & Kirsi (2010) mengatakan bahwa tugas seorang mentorship dalam pembelajaran klinik meliputi dua hal yaitu memfasilitasi pembelajaran mahasiswa dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif serta mendorong belajar secara mandiri. Selain itu mentorship bertugas memperkuat profesionalisme mahasiswa dengan mendukung perkembangan profesi dan membantu mahasiswa mencapai target kompetensi.
            Penerapan sistem mentorship yang terintegrasi dan menyeluruh saat ini sangat diperlukan dalam pembelajaran klinik di Indonesia. Penelitian dari Merja, David, Kerttu dan Hennele (2011) yang dilakukan di Finlandia menyatakan bahwa sistem mentorship yang efektif akan menghasilkan lulusan perawat yang kompeten, berdaya saing dan secara tidak langsung memberikan cost effective terhadap pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan. Banyak model mengenai sistem pembelajaran mentorship atau perseptorship yang dirancang dalam pembelajaran klinik akan tetapi menurut Margareth dan Martha (1999) tidak ada satu model baku tentang sistem mentorship yang cocok diterapkan di suatu klinik, melainkan sebuah model harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan lingkungan organisasi tempat model tersebut akan diterapkan
            Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa masih terdapat beberapa masalah dalam sistem pembelajaran klinik di Indonesia diantaranya mengenai rasio perbandingan anatara pembimbing dan mahasiswa yang tidak seimbang, pembimbing klinik yang kurang berkompeten dan kolaborasi antara pembimbing akademik dan klinik yang masih belum sinkron. Oleh karena itu sistem pembelajaran klinik berbasis mentorship atau perseptorship perlu dievaluasi lagi pelaksanaannya dilapangan, selain itu juga dibutuhkan peningkatan terhadap kualitas dan kompetensi para pembimbing klinik di Indonesia. Proses ini tentu membutuhkan peran serta dari berbagai pihak untuk ikut bertanggungjawab dalam peningkatan kualitas pembelajaran klinik keperawatan di Indonesia.










DAFTAR PUSTAKA

Atkin, S., & William, A. (1995) Registered nurses experiences of mentoring            undergraduate nursing students. Journal of Advanced Nursing, 21,      1006-1015.

Anton Wijaya. (2012). Solusi Tata Kelola Praktik Klinik di Rumah Sakit.      Medianers

Akhmad Rizani. (2006). Pengaruh persepsi mahasiswa dalam pengelolaan ruang             rawat   inap terhadap kepuasan mahasiswa dalam praktek klinik   keperawatan di RSUD Ulin Banjarmasin. Semarang: Universitas             Diponegoro

Davison N & Williams K. (2011). A danish approach to mentorship and education of nursing students. Nursing Standard RCN Publishing Company vol 25   no 23

Helen T Allan, Pam Smith and Mike O’Driscoll. (2011). Experiences of      supernumerary status and the hidden curriculum in nursing: a new twist in   the theory–practice gap?. Journal of Clinical Nursing, 20, 847–855

Merja Jokelainen, Hannele Turunen, Kerttu Tossavainen, David Jamookeeah and            Kirsi Coco. (2010). A systematic review of mentoring nursing students in clinical placements. Journal of Clinical Nursing, 20, 2854–2867

 

Merja Jokelainen, David jamookeeah, Kerttu Tossavainen & Hennele Turunen.     (2011). Building organizational capacity for effective mentorship of pre-       registration nursing students during placement learning: Finnish and             British mentors’ conceptions. International Journal of Nursing Practice; 17:             509–517

Margaret Andrew & Martha wallis. (1999). Mentorship in nursing: a literature          review. Journal of Advanced Nursing; 29, 201-207

Nurhadi. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam Kurikulum   Berbasis Kompetensi (KBK). Malang: UM Press

Nursalam & Ferry Efendi. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:           Salemba Medika

Nurachmach, E. (2007). Paradigma pencapaian kompetensi pada pendidikan       ners     dengan model preceptorship dan mentorship. Disampaikan pada    Pelatihan Nasional Preceptorship dan Mentorship untuk Pendidikan      Ners. Yogyakarta, 12 – 14 Februari 2007.


Rika Endah Nurhidayah. (2009). Pendidikan Keperawatan. Medan: USU Press

 

Syafaruddin. (2002). Telaah Praktek Klinik Keperawatan mahasiswa Akademi      keperawatan Depkes Palembang di Rumah sakit Dr. Mohammad Hoesin         Palembang. Universitas Indonesia


Tri Nurhidayati & Yuni Armiyati. (2012). Keefektifan pelatihan mentoring terhadap persepsi mahasiswa tentang peran pembimbing akademik pada     mahasiswa profesi ners Universitas Muhammadiyah Semarang.    Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang


Waters, D., Clarke, M., Ingal, A., & Dean-Jones, M. (2003) Evaluation of a            pilot mentoring programme for nurse managers. Journal of    Advanced        Nursing, 42 (5), pp 516-526.







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar