ESSAY
ANALISA MASALAH PEMBELAJARAN KEPERAWATAN
KLINIK
DI INDONESIA
Disusun
Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata
Kuliah Pendidikan Keperawatan Klinis
Fasilitator: Yulian Wiji Utami, S.Kp.,
M.Kes
Disusun
Oleh:
IKA SUBEKTI WULANDARI
126070300111012
PRODGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
2013
Dampak globalisasi dan kemajuan
zaman telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan. Persaingan dalam
peningkatan sumberdaya manusia membuat perguruan tinggi harus terus
meningkatkan kualitas pendidikannya. Sistem perencanaan metode pembelajaran
yang efektif akan dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi mahasiswa.
Termasuk dalam dunia pendidikan keperawatan.
Pendidikan keperawatan saat ini
dituntut untuk dapat menghasilkan lulusan tenaga keperawatan yang kompeten dan
berstandar nasional maupun internasional (Nurhadi, 2004). Penyelengggaraan
pendidikan dituntut dapat dengan cepat merespon proses pembelajaran yang
kompleks dan berkelanjutan dalam menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan
dapat bekerja sesuai bidang ilmunya dan diterima dimasyarakat secara baik. Oleh
karena itu suatu Perguruan Tinggi harus membekali peserta didiknya dengan attitude, knowledge, skill dan insight
sehingga dapat menciptakan lulusan perawat yang berkualitas dan memiliki daya
saing tinggi (Nursalam & Ferry, 2008)
Menurut Rika (2009) Asosiasi
Institusi Pendidikan Nurse Indonesia (AIPNI) menetapkan pendidikan keperawatan
di Indonesia dapat ditempuh dengan menyelesaikan dua tahap pendidikan yaitu
tahap pendidikan akademik dengan gelar S.Kep dan tahap pendidikan profesi
dengan gelas Ners (Ns). Kedua tahapan ini merupakan tahapan pendidikan yang
terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Program pendidikan profesi disebut
juga sebagai proses pembelajaran klinik, karena sepenuhnya kegiatan
dilaksanakan di lahan praktik seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin,
panti wherda, keluarga dan komunitas. Dalam tahap profesi peserta didik mengaplikasikan
teori dan konsep-konsep yang telah didapat selama akademik.
Tujuan dari praktik klinik selain
menerapkan konsep adalah diharapkan peserta didik lebih aktif dalam setiap
tindakan sehingga terampil dalam menggunakan teori dan tindakan. Hal lain yang
menjadi pencapaian di lahan klinik adalah kemampuan pengambilan keputusan
klinis yang mengintegrasikan teori, hukum, pengetahuan, prinsip dan pemakaian
keterampilan khusus. Di lahan klinik peserta didik juga dapat bereksperimen
dengan menggunakan konsep dan teori untuk praktik, menyelesaikan masalah dan
mengembangkan bentuk perawatan baru (Nursalam & Ferry, 2008).
Menurut Schweek dan Gebbie (1996)
unsur utama dalam pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran
dikelola di lahan praktik. Oleh karena itu perlu disiapkan panduan pembelajaran
klinik untuk mahasiswa dan pembimbing klinik agar dapat melakukan asuhan
keperawatan yang berorientasi pada kualitas melalui lingkungan belajar dengan role model. Hal ini erat kaitannya
dengan peran pengajar pada lingkungan klinis yang bertujuan mendorong
kemandirian dan kepercayaan diri mahasiswa dalam mencapai target kompetensinya.
Sejauh ini pelaksanaan kegiatan
pembelajaran klinik di Indonesia masih perlu mendapat perhatian khusus. Masih
banyaknya permasalahan yang terjadi di lingkungan klinik terkait dengan
kebijakan dari rumah sakit atau pelayanan kesehatan,perbandingan rasio antara
instruktur klinik dengan jumlah mahasiswa, kompetensi instruktur klinik yang
belum terstruktur dengan baik serta kolaborasi pembimbing akademik dan klinik
yang belum sinkron turut mempengaruhi kualitas pendidikan keperawatan klinis di
Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
menganalisis masalah-masalah dalam pembelajaran klinik keperawatan di Indonesia
Proses
kegiatan pembelajaran di lahan klinik sangat dipengaruhi peran dari seorang
pembimbing klinik yang biasa disebut perseptor atau Clinical Instructure (CI) (Watt, 1990). Sebagai seorang perseptor,
perawat bertanggung jawab terhadap semua tindakan mahasiswa selama pembelajaran
di lahan praktik. Seorang perseptor juga harus membagi antara tindakan yang
menjadi tanggung jawab mahasiswa dan tanggung jawabnya. Sehingga dalam
melakukan tugasnya seorang perseptorsip harus benar-benar fokus terhadap peran
dan fungsinya. Menurut penelitian Akhmad (2006) terdapat 3 dari 6 orang clinical instructure atau pembimbing
klinik di ruang rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin menyatakan bahwa pengelolaan
ruang rawat inap kurang baik dalam praktek klinik mahasiswa. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pengorganisasian peserta didik, alat dan bahan
keperawatan serta tidak adanya pembagian tugas dan koordinasi saat praktek.
Secara ideal menurut Davison dan
Williams (2011) di negara Denmark satu orang persepstorsip membimbing satu
orang mahasiswa. Akan tetapi jika melihat kenyataan dipembelajaran klinik
Indonesia satu orang CI harus membimbing 6 sampai 10 mahasiswa bahkan bisa
lebih di satu bangsal perawatan (Anton, 2012). Dalam menjalankan tugasnya,
selain bertanggungjawab membimbing mahasiswa CI juga mempunyai tanggung jawab
fungsional sebagai perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Sehingga
dalam satu kali dinas (8 jam) CI dituntut untuk melakukan bimbingan, berdiskusi
tentang kasus bersama mahasiswa sekaligus melakukan perawatan terhadap pasien,
Oleh karena itu bimbingan menjadi tidak
berkualitas karena keterbatasan waktu dan tenaga.
Selain masalah mengenai rasio antara
mahasiswa praktik dan pembimbing klinik, masalah lain yang sering muncul adalah
mengenai kompetensi seorang CI dalam melakukan bimbingan klinik yang masih perlu
dipertanyakan. Menurut Rika (2009) seorang pembimbing klinik seharusnya
memiliki kemampuan mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan klinis
terbaru, menganalisa teori dari berbagai sumber, menekankan pemahaman
konseptual kepada mahasiswa dan membantu mahasiswa dalam menghubungkan teori
yang melandasi praktik keperawatan. Selain itu pembimbing klinik juga dituntut
untuk dapat menyampaikan atau mentransfer pengetahuan, memperlihatkan
kompetensi klinis, keahlian dan sikap serta nilai-nilai yang dikembangkan oleh
mahasiswa.
Fenomena yang sering ditemui adalah
mahasiswa sering kali tidak bisa mencapai target kompetensi sesuai yang
ditargetkan dari standar pendidikan keperawatan (Anton, 2012). Mahasiswa kurang
mendapat bimbingan maksimal melalui bed
side teaching atau ronde keperawatan misalnya tentang pemeriksaan fisik,
anamnesa, perawatan luka dan sebagaianya. Fenomena lain adalah mengenai
evaluasi terhadap laporan asuhan keperawatan mahasiswa. Beberapa pembimbing
cenderung mengevaluasi secara formalitas, tidak mengecek secara langsung
tentang kebenaran tindakan keperawatan yang dilakukan mahasiswa terhadap
pasien. Selain itu dalam melakukan responsi pembimbing cenderung tidak menilai
penguasaan teori dan keterampilan mahasiswa dalam bertindak melainkan hanya mengevaluasi
tentang pengetahuan mahasiswa saja (Anton, 2012). Masalah lain adalah mengenai
kualifikasi pendidikan seorang pembimbing klinik yang seharusnya S1
Keperawatan, namun pada kenyataannya masih ditemukan pembimbing klinik dengan
pendidikan Diploma III (DIII) keperawatan bahkan lulusan non keperawatan
(Syafaruddin, 2002)
Peningkatan terhadap kualitas
seorang pembimbing klinik, baik yang berasal dari perawat rumah sakit ataupun
dari pembaimbing akademik mutlak diperlukan. Menurut pendapat dari Atkins dan
Williams (1995) menyebutkan bahwa pembimbing harus mendapatkan pelatihan.
Pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan pembimbing, bisa bertukar pikiran
dengan pembimbing lain dan melakukan refleksi bersama (Waters, 2003).
Penelitian lain membuktikan bahwa proses bimbingan mahasiswa oleh pembimbing
akademik yang mendapatkan pelatihan mentoring lebih efektif dibandingkan dengan
yang tidak mendapatkan pelatihan, selain itu bimbingan dengan metode
konvensional kurang efektif (Tri & Yuni, 2012).
Menurut Syafaruddin (2002) praktik
klinik keperawatan belum mengacu pada pedoman pengelolaan praktik kerja
lapangan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan. Belum ada persamaan persepsi
antara pembimbing klinik dan akademik dalam kegiatan pemantauan dan penilaian
praktik klinik keperawatan. Masih sering ditemui dilapangan ketika mahasiswa
akan mencapai sebuah target kompetensi, ternyata ada perbedaan antara metode
yang diajarkan oleh pembimbing akademik dan pembimbing klinik, sehingga
mahasiswa sering kali dibuat bingung. Menurut Helen, Pam dan Mike (2011) ketika
mahasiswa praktek di klinik sering kali harus belajar keras dan mandiri karena
menemui beberapa perbedaan antara teori yang didapat dan pelaksanaan praktek di
lapangan.
Peran pembimbing klinik dalam
mentorship sangat penting dalam pencapaian target kompetensi mahasiswa. Peran
seorang mentor di Indonesia menurut Nurachmach (2007) dimana mentor mampu
membuat menti (peserta mentorship) yang tadinya tergantung menjadi mandiri
melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang diharapkan terjadi yaitu
mengalami sendiri dan menemukan sendiri fenomena praktek keperawatan dimana hal
ini diharapkan dapat membangun kepercayaan diri, harga diri dan kesadaran diri
yang merupakan fundamental dalam penyelesaian masalah. Sedangkan peran seorang
mentor di Eropa menurut Merja, Hannele, Kerttu, David & Kirsi (2010)
mengatakan bahwa tugas seorang mentorship dalam pembelajaran klinik meliputi
dua hal yaitu memfasilitasi pembelajaran mahasiswa dengan menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif serta mendorong belajar secara mandiri. Selain
itu mentorship bertugas memperkuat profesionalisme mahasiswa dengan mendukung
perkembangan profesi dan membantu mahasiswa mencapai target kompetensi.
Penerapan sistem mentorship yang
terintegrasi dan menyeluruh saat ini sangat diperlukan dalam pembelajaran
klinik di Indonesia. Penelitian dari Merja, David, Kerttu dan Hennele (2011)
yang dilakukan di Finlandia menyatakan bahwa sistem mentorship yang efektif akan
menghasilkan lulusan perawat yang kompeten, berdaya saing dan secara tidak
langsung memberikan cost effective
terhadap pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan. Banyak model mengenai
sistem pembelajaran mentorship atau perseptorship yang dirancang dalam
pembelajaran klinik akan tetapi menurut Margareth dan Martha (1999) tidak ada
satu model baku tentang sistem mentorship yang cocok diterapkan di suatu
klinik, melainkan sebuah model harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
lingkungan organisasi tempat model tersebut akan diterapkan
Berdasarkan analisa diatas dapat
disimpulkan bahwa masih terdapat beberapa masalah dalam sistem pembelajaran
klinik di Indonesia diantaranya mengenai rasio perbandingan anatara pembimbing
dan mahasiswa yang tidak seimbang, pembimbing klinik yang kurang berkompeten
dan kolaborasi antara pembimbing akademik dan klinik yang masih belum sinkron.
Oleh karena itu sistem pembelajaran klinik berbasis mentorship atau
perseptorship perlu dievaluasi lagi pelaksanaannya dilapangan, selain itu juga
dibutuhkan peningkatan terhadap kualitas dan kompetensi para pembimbing klinik
di Indonesia. Proses ini tentu membutuhkan peran serta dari berbagai pihak
untuk ikut bertanggungjawab dalam peningkatan kualitas pembelajaran klinik
keperawatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atkin,
S., & William, A. (1995) Registered nurses experiences of mentoring undergraduate nursing students. Journal of Advanced Nursing, 21, 1006-1015.
Anton Wijaya. (2012). Solusi Tata Kelola Praktik Klinik di Rumah Sakit. Medianers
Akhmad Rizani. (2006). Pengaruh persepsi mahasiswa dalam pengelolaan ruang rawat inap terhadap kepuasan mahasiswa dalam praktek klinik keperawatan di RSUD Ulin Banjarmasin.
Semarang: Universitas Diponegoro
Davison
N & Williams K. (2011). A danish approach to mentorship and education of nursing students. Nursing Standard RCN Publishing Company vol 25 no 23
Helen
T Allan, Pam Smith and Mike O’Driscoll. (2011). Experiences of supernumerary status and the hidden
curriculum in nursing: a new twist in the
theory–practice gap?. Journal of Clinical
Nursing, 20, 847–855
Merja Jokelainen, Hannele Turunen, Kerttu
Tossavainen, David Jamookeeah and Kirsi
Coco. (2010). A systematic review of mentoring nursing students in clinical placements. Journal of Clinical Nursing, 20, 2854–2867
Merja
Jokelainen, David jamookeeah, Kerttu Tossavainen & Hennele Turunen. (2011). Building organizational capacity for effective mentorship of pre- registration nursing students during
placement learning: Finnish and British
mentors’ conceptions. International Journal of Nursing Practice; 17: 509–517
Margaret
Andrew & Martha wallis. (1999). Mentorship in nursing: a literature review. Journal of Advanced Nursing; 29, 201-207
Nurhadi. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Malang: UM
Press
Nursalam & Ferry Efendi. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nurachmach, E. (2007). Paradigma
pencapaian kompetensi pada pendidikan ners
dengan model preceptorship dan
mentorship. Disampaikan pada Pelatihan
Nasional Preceptorship dan Mentorship untuk Pendidikan Ners. Yogyakarta, 12 – 14 Februari 2007.
Rika Endah Nurhidayah. (2009). Pendidikan Keperawatan. Medan: USU Press
Syafaruddin. (2002). Telaah Praktek Klinik Keperawatan mahasiswa Akademi keperawatan Depkes Palembang di Rumah sakit
Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Universitas Indonesia
Tri Nurhidayati & Yuni Armiyati. (2012). Keefektifan pelatihan mentoring terhadap persepsi mahasiswa tentang peran pembimbing
akademik pada mahasiswa profesi ners Universitas
Muhammadiyah Semarang. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang
Waters,
D., Clarke, M., Ingal, A., & Dean-Jones, M. (2003) Evaluation of a pilot mentoring programme for nurse
managers. Journal of Advanced Nursing,
42 (5), pp 516-526.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar